Ancaman Delik Pidana ITE Bagi Pembatal Nasab Ba’alawi

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. (Founder Al Fatih Center)

Persoalan nasab Ba’alawi yang pada mulanya bersifat privat kini berdimensi publik. Dikatakan demikian oleh karena substansi penolakan terhadap nasab Ba’alawi telah menembus ranah hukum publik (pidana). Beberapa pihak demikian gencar melakukan delik antara lain diskriminasi ras dan etnis, ujaran kebencaian atau permusuhan, dan termasuk pula delik hoaks. Penolakan yang kemudian berujung pertentangan di masyarakat harus disikapi dengan instrumen hukum. Terjadinya berbagai delik tersebut di atas secara jelas dan nyata dikehendaki dan diketahui oleh para pelakunya. Bahkan perbuatan dilakukan dalam bentuk penyertaan (deelneming) yang pasti didalamnya terkandung permufakatan jahat (dolus premeditatus).

Perbuatan dengan sengaja mendekonstruksi nasab terhubung dengan akibat yang terjadi. Disini berlaku suatu asas ‘animus homis est anima scripti’, artinya “kesengajaan merupakan inti perbuatan”. Dalam kaitan ini, terjadinya akibat yang terkualifisir sebagai delik, maka beban pertanggungjawaban pidana dikenakan kepada pembuat delik. Dengan kata lain, walaupun pembuat delik tidak menginginkan atau tidak mengetahui akan terjadinya akibat, maka menurut hukum orang tersebut harus bertanggungjawab secara pidana.

Pertanggungjawaban pidana menunjuk pada unsur subjektif berupa kesalahan (mens rea), yang demikian itu terhubung secara kausailtas dengan perbuatan sebagai unsur objektif (actus reus). Perbuatan yang pada awalnya menegasikan nasab Ba’alawi sebagai keturunan Rasulullah SAW akan menjadi delik jika dalam perjalanannya menimbulkan akibat-akibat sebagaimana telah dirumuskan dalam undang-undang. Dapat disebutkan disini yakni, pertama Undang-Undang 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Kedua, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis. Ketiga, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Pada kesempatan ini disampaikan tentang ujaran kebencian atau permusuhan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

Ujaran kebencian atau permusuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A menunjuk pada perbuatan yang sifatnya “menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain”, sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Delik timbulnya rasa kebencian atau permusuhan bukan hanya terjadi di ruang maya (media sosial), namun juga di tengah-tengah masyarakat. Pertentangan antara pihak yang pro maupun yang kontra terhadap nasab Ba’alawi di berbagai wilayah telah terjadi. Demikian itu berkorespondensi dengan pernyataan-pernyataan pembatalan nasab yang disampaikan secara terbuka dan berkelanjutan hingga kini.

Jadi, terjadinya kebencian atau permusuhan itu lebih disebabkan dengan adanya konten yang mengandung unsur menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain yang pada intinya agar tidak mempercayai bahwa kaum Ba’alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Perlu diketahui, perbuatan dalam pasal a quo bersifat alternatif, jadi tidak harus menjangkau ketiga perbuatan tersebut. Cukup salah satunya terpenuhi, maka terpenuhi pula unsur dimaksud.

Kemudian menyangkut arah delik juga bersifat alternatif, “individu” atau “kelompok” masyarakat tertentu. Dalam perkara ini, masyarakat tertentu yang dimaksud adalah yang didasarkan pada ras, etnis dan kepercayaan. Unsur individu atau kelompok menunjuk pada kaum Ba’alawi yang memang leluhurnya berasal dari Negeri Yaman (Handramaut).

Ditinjau dari aspek perbuatan timbulnya rasa kebencian atau permusuhan dapat dilihat dari ungkapan perasaan pelaku dalam ceramah atau pernyataannya dalam berbagai konten yang mengandung narasi yang menyudutkan. Narasi demikian itu menciptakan rasa kebencian atau permusuhan. Diantara konten tersebut adalah menyatakan bahwa kaum Ba’alawi berasal dari kaum Yahudi. Beragam mereka menisbatkan tuduhan itu, ada menyebut “Yahudi Ashkenazi” yang notabene dari “Yahudi Khazar”. Ada pula menyebut dari “Yahudi Kaukasia”. Kesemuanya itu sangat mengganggu ketentraman dan ketertiban di masyarakat. Pernyataan itu tentu bertendensi provokasi agar masyarakat tidak mempercayai kaum Ba’alawi sebagai keturunan Rasulullah. Disinilah letak unsur menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain. Demikian itu bersinggungan dengan ras, etnis dan termasuk kepercayaan.

Persoalan nasab termasuk ranah keyakinan yang sudah terbentuk di masyarakat Indonesia. Namun ketika ada pernyataan yang menegasikan kepercayaan yang diterima masyarakat dan oleh karenanya timbul akibat berupa kebencian atau permusuhan di masyarakat, maka pernyataan demikian dipandang telah memenuhi unsur delik. Kemudian, individu atau kelompok yang menjadi korban dari delik ujaran kebencian atau permusuhan adalah kaum Ba’alawi.

Ujaran kebencian atau permusuhan itu pastinya dilakukan dengan sengaja. Terdapat dua hal yang menentukan adanya kesengajaan dalam perbuatan pidana yaitu, “menghendaki” dan “mengetahui” (willen en wetten). Unsur “menghendaki” berarti bahwa pelaku menghendaki terjadinya tindak pidana dan akibat dari dilakukannya tindak pidana tersebut. Adapun unsur “mengetahui” berarti bahwa pelaku mengetahui bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan suatu hal yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan akan tetapi pelaku tetap melakukan tindak pidana tersebut.

Kesengajaan mengandung tiga corak (gradasi) kesengajaan, yakni “kesengajaan sebagai maksud” (als oogmerk), “kesengajaan sebagai kepastian” (dolus directus) dan “kesengajaan sebagai kemungkinan” (dolus eventualis). Pasal a quo tidak menunjuk pada salah satu jenis kesengajaan, namun melingkupi semua ketiga corak kesengajaan. Dengan dimikian salah satu corak dapat diterapkan sesuai dengan kondisi yang terjadi. Tegasnya, satu corak dipenuhi, maka terpenuhi pula unsur “dengan sengaja”.

Penegasian nasab diyakini merupakan bagian dari permufakatan jahat. Bicara permufakatan jahat, maka pasti didalamya mengandung suatu perencanaan (persengkokolan). Demikian itu yang kita kenal dengan sebutan “konspirasi”. Dalam konspirasi, kebenaran itu dibentuk dengan kekuatan persengkokolan jahat. Oleh karenanya, terus menerus ditebarkan berita hoaks sampai pada suatu titik terpengaruhnya masyarakat. Penulis meyakni, adanya ujaran kebencian atau permusuhan ini adalah bagian dari Islamophobia yang digerakkan oleh ‘tangan-tangan tidak terlihat’ (invisible hand). Pola demikian adalah model Zionisme Internasional yang kini sedang mengembangkan politik rasialisme.

Jakarta, Sabtu 7 September 2024.