Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Zionisme yang mendasarkan keyakinannya pada Talmud merupakan suatu paham keagamaan yang menyimpang, sesat dan menyesatkan. Dikatakan demikian oleh karena ajaran agama yang dianut tidak lagi mendasarkan pada agama Yahudi yang asli, melainkan berdasarkan paham ajaran Illuminati (Freemasonry). Berbagai penyelewengan dilakukan oleh kelompok rahasia (secret society) ini. Tujuan mereka adalah mendirikan Israel Raya yang akan menguasai dunia. Kelompok ini membangun suatu sistem yang diwariskan kepada generasi selanjutnya hingga membentuk Zionis Internasional. Dengan demikian keberadaan paham ajaran Illuminati berlangsung terus menerus guna mewujudkan ambisinya. Seiring dengan globalisasi, keberadaan Zionis Internasional semakin masih dan ofensif.
Zionis Internasional adalah salah satu bentuk ideologi transnasional. Keberadaannya merupakan ancaman yang bersifat nirmiliter (asimetris). Melalui pendekatan-pendekatan tertentu, utamanya kerjasama di bidang keagamaan, pendidikan dan kebudayaan telah mampu merasuki pandangan seseorang. Para tokoh, akademisi, aktivis dan yang lainnya akan menjadi mitra strategis negara penerima manfaat (beneficiary state) yakni Israel. Demikian itu adalah kenyataan yang tidak terbantahkan.
Masuk dan berkembangnya ajaran Illuminati dengan paham keagamaan yang menyimpang dan sesat menyesatkan itu ke Indonesia tentu bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kondisi demikian merupakan persoalan besar yang mengancam eksistensi negara Indonesia, dan termasuk eksistensi agama yang diakui di Indonesia. Mereka masuk ke Indonesia melalui organisasi-organisasi tertentu yang berafiliasi dengan organisasi Zionis Internasional.
Sangat disayangkan fungsi deteksi dini (early warning) belum berlaku optimal. Keberadaannya belum mampu menjangkau ekspansi ideologi transional Zionis Internasional. Banyaknya actor nonstate yang mewakili kepentingan negara asal (Israel) telah menjamur di Indonesia. Ditambah lagi adanya warga negara yang berkorespondensi secara aktif dalam bentuk kerjasama dengan organisasi Zionis Internasional. Kesemuanya itu diarahkan guna terbentuknya suatu paham unitarian dengan mengusung tema “kebersamaan, kebebasan dan kemanusiaan”. Banyak pihak yang terkecoh dan pada akhirnya terjebak dengan proposal yang mereka tawarkan.
Agen Zionis selalu berupaya memengaruhi target dengan melakukan serangkaian upaya guna membentuk keyakinan seseorang. Disana akan dikembangkan paham baru yang berbeda dengan paham sebelumnya. Paham dimaksud menunjuk pada gerakan ‘Zaman Baru’ yang tidak lain adalah ‘Agama Baru’ (The New Age Movement). Gerakan New Age mencakup praktik spiritual yang berbeda di luar agama-agama. Menurut paham tersebut, era agama-agama lama (Old Age) akan musnah dan digantikan dengan keyakinan baru, dengan tipuan “lebih humanis”. Doktrin yang dibangun adalah peningkatan kesadaran spiritual, pemikiran berbasis intuisi, dan hubungan damai dengan orang lain dan alam. Kesemuaya itu adalah kebohongan besar dan tipu daya belaka.
Gerakan Zaman Baru pertama kali muncul di Barat sekitar tahun 1970-an, dan kemudian menjamur popularitasnya pada tahun 1980-an. Bahkan hingga kini gerakan tersebut terus memengaruhi umat beragama di seluruh dunia. Banyak yang tidak lagi menggunakan istilah “Zaman Baru”. Mereka lebih suka istilah “Spiritualitas Baru” atau yang serupa, tetapi itu semua merupakan bagian dari gerakan New Age.
Ron Rhodes dalam dalam tulisannya yang berjudul “New Age Movement” mengatakan bahwa kepercayaan inti penganut New Age mencakup monisme (semua adalah satu), panteisme (semua adalah Tuhan), dan mistisisme (pengalaman menyatu dengan yang ilahi). Slogannya, “anda adalah tuhan anda sendiri,” dan “anda dapat menciptakan realitas anda sendiri.” Dikatakan olehnya, bahwa satu kurikulum New Age yang berhasil diterapkan di beberapa distrik sekolah di Amerika Serikat mengajarkan siswa cara menemukan nilai-nilai mereka sendiri. Ide dalam kurikulum ini adalah bahwa nilai-nilai tidak boleh dipaksakan dari luar (seperti dari Kitab Suci atau dari orang tua) tetapi harus ditemukan di dalam diri. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa tidak ada kebenaran atau nilai-nilai yang absolut.
Ralph Epperson dalam bukunya yang berjudul “The Word Order” dan Constance Cumbey – peneliti agama New Age – melalui bukunya “The Hidden Dangers of the Rainbow” mengungkapkan hal yang sama, keinginan untuk membawa perubahan ke dalam Tatanan Dunia Baru adalah suatu tatanan untuk menghapus Tuhan dari kehidupan dan mempertuhankan Lucifer.
Penganut paham sesat ini beranggapan bahwa meyakini atau tidaknya atas adanya Tuhan dan ajarannya bukan domain agama, namun bagian dari kebebasan berpikir yang merupakan hak asasi manusia. Mereka berkeyakinan bahwa kebenaran ajaran agama itu tidaklah absolut. Kebenaran agama harus ditanggalkan dan diserahkan pada penilaian masing-masing penganut agama dan dengannya menyatukan semua ajaran agama dengan pendekatan pemikiran manusia.
Pada akhirnya, pemikiran itu yang harus dimenangkan, walaupun bertentangan dengan ajaran agama. Akal pikiran menolak ajaran agamanya masing-masing. Jadi, guna mempertemukan kebenaran secara absolut ditentukan oleh bertemunya pemikiran manusia untuk kemudian diambil kebenaran yang dikompromikan. Kesepakatan hasil kompromi itulah yang dianggap benar, tidak peduli bertentangan dengan ajaran agama yang bersifat pasti dan tetap (qath’i). Inilah bentuk paham penyatuan agama. Paham penyatuan agama ini tentu akan didukung oleh kalangan Sekuralis, Pluralis dan Liberalis (Sepilis). Termasuk pula kaum Ateis dan Agnostik. Dalam kepentingan tersebut, paham ‘humanisme sekuler’ menjadi garda terdepan guna memengaruhi umat manusia.
Kebenaran ajaran agama yang digantikan dengan kebenaran kolektif hasil diskusi manusia demikian berbahaya. Dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan atau kebijakan pemerintahan yang terkait dengan ajaran agama, maka tentu pemikiran kolektif itu akan meninggalkan ajaran agama. Paham New Age tentunya sangat memengaruhi pengambilan keputusan atau kebijakan. Pembentukan kepada mereka itu tentu akan terus berlanjut. Untuk kemudian tampil mewakili kepentingan Zionisme, dalam bentuk penetrasi dan berbagai lobi kepada pengambil keputusan.
Perlu kita pahami, gerakan Zionis Internasional sebagai kelanjutan dari Illuminati-Freemasonry memang telah memiliki agenda yang tersusun secara sistemik guna penguasaan atas agama dan negara. Berbagai proposal mereka tawarkan dengan berbagai cara, dan demikian itu dijalin hubungan yang interaktif. Padahal demikian itu mengandung suatu kepentingan strategis guna memengaruhi elit agar kelak mendukung misi mereka.
Sejarah mencacat, bahwa Presiden Sukarno pada tahun 1962 melakukan pelarangan terhadap gerakan Freemasonry di Indonesia. Pelarangan tersebut menyangkut Kewaspadaan Nasional. Kita ketahui bahwa basis Ketahanan Nasional adalah Kewaspadaan Nasional. Di sini keberlakuan early warning sangat diharapkan mampu menanangkal dan menanggulangi setiap ancaman berupa ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan agama.
Alasan pelarangan gerakan Freemasonry juga terkait dengan Israel, dimana Indonesia tidak melakukan hubungan diplomatik sebab negara Zionis itu melakukan tindakan penjajahan atas Palestina. Keberadaan mereka tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan sampai saat ini masih berlaku. Jati diri bangsa Indonesia adalah menolak setiap bentuk penjajahan dan anti terhadap negara yang melakukan penjajahan karena itu bertentangan dengan kemauan para pendiri bangsa. Prinsip dasar tersebut adalah harga mati yang tidak bisa ditawar.
Saat ini di Indonesia masih terdapat Rotary Club dan Lions Club. Keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari kepentingan Israel. Menurut Toto Asmara, “sebenarnya nafas ‘kemanusiaan’ yang berada di dalamnya, ternyata tidak lain adalah bahasa lain untuk ‘membunuh’ gairah keagamaan, karena aspek keagamaan haruslah bersifat personal atau hanya urusan pribadi masing-masing”. Terkait dengan keberadaan Rotary Club dab Lions Club, telah ada Fatwa larangan bagi umat Islam untuk bergabung dengan kedua organisasi tersebut. Fatwa dimaksud dihasilkan dalam muktamar yang diselenggarakan di Mekkah tanggal 15 Juli 1978 dan Fatwa Komisi Fatwa Al-Azhar tanggal 5 Mei 1985.
Soyogyanya Majelis Ulama Indonesia Pusat segera menerbitkan Fatwa larangan dan haramnya bergabung dan/atau bekerjasama dengan organisasi-organisasi pro-Israel. Fatwa tersebut demikian penting untuk menjaga akidah umat Islam dan sekaligus wujud dukungan terhadap Palestina atas tindakan invasi Israel yang demikian kejamnya.
Sungguh tidak berdasar alasan atas nama kebersamaan, kebebasan dan kemanusiaan warga negara Indonesia melakukan hubungan kerjasama dengan organisasi-organisasi pro-Israel. Bukankah Israel secara berkelanjutan melakukan tindakan militer atas rakyat Palestina demikian keji dan biadab. Dimana letak kebersamaan, kebebasan dan kemanusiaan yang mereka usung? Warga negara Indonesia yang terlibat dalam proyek kerjasama itu, disadari atau tidak disadari, langsung atau tidak langsung, mereka telah menjadi agen-agen Israel guna kepentingan Zionisme baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Zionis Internasional melalui organisasinya berupaya agar pandangan pemerintah berubah guna bersahabat dengan Israel yang ditandai dengan hubungan diplomatik. Untuk kepentingan itulah gerakan New Age dijalankan guna menembus kekuasaan dengan berbagai strategi dan upaya yang telah dirancang sedemikian rupa. Keberadaan mereka multi facet, dari segala lini mereka masuk dan berkembang. Kita harus selau waspada.
*Pusat Pemikiran Al-Fatih*
Jakarta, Jum’at 16 Agustus 2024.