Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Pendiri The Activist Cyber
Keputusan Airlangga Hartarto untuk secara tiba-tiba mengundurkan diri dari posisi Ketua Umum Partai Golkar (Jakarta, 11 Agustus 2024) di tengah masa transisi kekuasaan dari Presiden Jokowi ke Presiden terpilih Prabowo mengagetkan banyak pihak. Sebagai sosok yang sebelumnya tampak solid memimpin partai dengan lambang Pohon Beringin tersebut, keputusannya mengundang berbagai spekulasi yang terus berkembang di tengah masyarakat.
Banyak pihak menduga, keputusan Airlangga mundur tidak lepas dari berbagai tekanan yang menghimpitnya, baik dari dalam maupun luar partai. Salah satu dugaan kuat adalah terkait dengan kasus korupsi pengadaan minyak goreng, yang menyeret namanya dalam kapasitasnya sebagai Menteri Perdagangan. Kasus ini, yang sempat mengundang kontroversi besar, bisa jadi merupakan faktor signifikan yang membuat posisinya dalam partai menjadi goyah.
Selain itu, ada pula analisis yang menyebutkan bahwa desakan regenerasi dari internal partai turut berperan dalam keputusannya mundur. Partai Golkar, yang selama ini dikenal sebagai partai yang solid dengan tradisi regenerasi yang ketat, mungkin melihat bahwa sudah saatnya partai ini dipimpin oleh figur baru yang lebih segar untuk menghadapi dinamika politik masa depan.
Namun, di balik semua analisis ini, perlu dicermati bahwa kejadian serupa bukanlah hal baru dalam dunia politik internasional. Kita bisa melihat contoh dari pemimpin dunia seperti Tony Blair, yang mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Inggris setelah tekanan besar dari partai dan rakyat terkait keputusannya mendukung perang Irak. David Cameron juga mengundurkan diri setelah kalah dalam referendum Brexit yang kontroversial. Angela Merkel pun akhirnya menyerah pada desakan partainya untuk tidak lagi mencalonkan diri sebagai Kanselir Jerman setelah lebih dari satu dekade berkuasa.
Semua contoh tersebut menunjukkan bahwa tekanan politik, baik internal maupun eksternal, seringkali menjadi faktor utama yang mendorong pemimpin mundur. Dalam kasus Airlangga, tidak bisa dipungkiri bahwa desakan dari luar Partai Golkar, terutama terkait kepentingan kekuasaan yang lebih besar, bisa jadi memainkan peran penting dalam keputusannya.
Machiavelli dan Realitas Politik Kekuasaan
Di sinilah relevansi pemikiran Machiavelli dalam *The Prince* menjadi penting untuk dipahami. Dalam karya tersebut, Machiavelli mengajarkan bahwa seorang pemimpin yang ingin mempertahankan kekuasaan harus siap menggunakan segala cara, termasuk yang tidak bermoral, untuk menjaga posisinya. Prinsip bahwa “tujuan menghalalkan cara” menjadi panduan tak tertulis dalam politik, di mana mempertahankan kekuasaan lebih diutamakan daripada moralitas atau kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks ini, bisa dianalisis bahwa mundurnya Airlangga dari kepemimpinan Partai Golkar bukan hanya karena desakan internal partai atau kasus hukum, tetapi juga karena adanya tekanan dari kekuatan politik yang lebih besar. Kekuasaan di dalam Partai Golkar dan posisinya dalam pemerintahan menjadi taruhan besar yang melibatkan banyak kepentingan. Seperti yang dikatakan Machiavelli, pemimpin yang tidak mampu menyingkirkan hambatan atau ancaman terhadap kekuasaannya akan menjadi mangsa bagi lawan-lawannya. Maka, bisa jadi ada pihak-pihak yang melihat Airlangga sebagai penghalang bagi tercapainya tujuan politik yang lebih besar, dan karenanya ia “disingkirkan” melalui tekanan yang tak terlihat namun sangat kuat.
Tukang Kayu dan Pohon Beringin
Dalam analisis ini, terminologi “tukang kayu” dapat dianalogikan sebagai para aktor politik yang berupaya menumbangkan kepemimpinan Airlangga Hartarto di Partai Golkar, yang diibaratkan sebagai Pohon Beringin yang besar, lebat, dan kuat akarnya. Pohon Beringin, dalam hal ini, melambangkan kekuatan dan stabilitas Partai Golkar yang selama ini telah berakar kuat dalam kancah politik Indonesia. Tukang kayu ini, dengan segala upayanya, berusaha menebang pohon tersebut agar dapat mengambil alih kendali atau meruntuhkan kekuatannya.
Namun, tindakan tukang kayu ini bisa dipandang positif jika dilakukan dengan cara yang etis dan sesuai dengan aturan serta adab politik yang baik. Sayangnya, dalam kasus ini, upaya yang dilakukan justru berlangsung secara ugal-ugalan—tanpa mengindahkan norma dan aturan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia politik. Penebangan pohon beringin dilakukan dengan cara yang tidak etis, penuh intrik, dan mungkin melibatkan taktik kotor yang jauh dari nilai-nilai moralitas.
Ancaman bagi Demokrasi di Bawah Pemerintahan Prabowo
Mundurnya Airlangga terjadi di tengah masa transisi kekuasaan yang krusial. Di satu sisi, Partai Golkar berada dalam posisi yang cukup strategis dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024. Namun, di sisi lain, desakan dari kekuatan politik lain yang melihat potensi Golkar sebagai ancaman dalam perebutan kekuasaan bisa saja menjadi alasan kuat di balik keputusan ini. Kepentingan Pilkada, yang selalu menjadi ajang perebutan pengaruh dan kekuasaan, bisa saja menjadi pendorong eksternal yang membuat Airlangga merasa posisinya tidak lagi aman.
Jika kejadian ini dibiarkan tanpa respons yang tegas dari Partai Golkar, ada ancaman serius terhadap masa depan demokrasi di bawah pemerintahan Prabowo. Pembiaran terhadap upaya-upaya pembajakan demokrasi ini bisa menjadi preseden buruk yang akan menguatkan posisi para oportunis yang tidak segan-segan mengorbankan prinsip demokrasi demi ambisi kekuasaan mereka. Jika Golkar tidak mampu mempertahankan kebebasan politiknya dari intervensi eksternal, maka demokrasi Indonesia ke depan akan dibayangi oleh ancaman kekuasaan yang dipimpin oleh mereka yang tidak segan-segan menghalalkan segala cara, bahkan dengan mengorbankan kebenaran dan kepentingan rakyat.
Selamatkan Demokrasi
Dalam menghadapi situasi ini, pandangan para senior dan sesepuh Golkar menjadi sangat krusial. Keadaan yang menimpa Airlangga tidak bisa hanya dilihat sebagai persoalan pribadi, tetapi juga sebagai ujian terhadap independensi dan kebebasan Partai Golkar dalam menentukan masa depannya. Para senior Golkar harus mengambil langkah konkrit untuk memastikan bahwa partai ini tidak menjadi korban dari intervensi pihak luar yang tidak sesuai dengan aturan dan etika politik yang baik. Mereka perlu menyelamatkan demokrasi dari tangan-tangan yang mencoba membajak proses politik demi kepentingan sempit. Golkar, sebagai salah satu partai tertua dan berpengaruh di Indonesia, harus bisa menunjukkan bahwa mereka tetap teguh pada prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya, di mana keputusan diambil dengan kebebasan penuh tanpa campur tangan yang tak beradab.
Sebagaimana yang diajarkan dalam kisah pewayangan Bharata Yudha, mengalah bukan berarti kalah. Pada akhirnya, kemenangan sejati akan diraih oleh mereka yang tetap teguh pada prinsip kebenaran dan keadilan. Mengalah dalam menghadapi tekanan politik yang tidak etis justru bisa menjadi cara untuk membangkitkan semangat rakyat dalam membela kebenaran. Kisah Pandawa yang akhirnya menang melawan Kurawa dalam Bharata Yudha menjadi pengingat bahwa kebenaran akan selalu menang, meskipun harus melalui berbagai rintangan dan cobaan. Bagi Airlangga, mungkin ini adalah saatnya untuk menunjukkan bahwa mengalah dalam politik bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah bijak untuk memastikan bahwa keadilan dan kebenaran akan tetap berdiri tegak di atas panggung politik Indonesia.
Penutup
Dalam dinamika politik yang penuh dengan intrik dan permainan kekuasaan, mundurnya Airlangga Hartarto dari kepemimpinan Partai Golkar adalah sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana kekuatan besar sering kali dipertaruhkan dalam arena politik. Pohon Beringin, simbol dari kekuatan dan kestabilan partai, harus menghadapi serangan dari “tukang kayu” yang tak segan-segan mengorbankan etika dan adab demi ambisi pribadi atau kelompok. Namun, seperti yang diajarkan dalam kisah-kisah bijak, meskipun pohon yang kuat dapat diguncang, akarnya yang dalam dan kokoh akan tetap menjadi fondasi yang tak mudah diruntuhkan.
Para “tukang kayu” yang berupaya menebang pohon beringin ini harus diingatkan bahwa dalam politik, etika dan adab adalah fondasi yang tidak boleh diabaikan.
Partai Golkar dan para seniornya, sebagai penjaga tradisi dan nilai-nilai demokrasi, harus mampu mengarahkan partai ini menuju jalur yang benar. Membangun kembali partai dengan figur yang baru bukanlah perkara mudah, namun jika dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, Golkar bisa tetap menjadi pilar penting dalam perpolitikan Indonesia. Sementara itu, Airlangga, dengan mengalah dari hiruk-pikuk kekuasaan, telah menunjukkan bahwa politik yang benar bukanlah soal mempertahankan jabatan dengan segala cara, tetapi tentang bagaimana tetap berpegang pada prinsip dan nilai-nilai demokrasi dan etika politik.
_Kalibata, Jakarta Selatan, 13 Agustus 2024, 10:27 WIB._