Manajemen Krisis Lembaga Zakat

Oleh Nana Sudiana (Direktur Akademizi)

Apa pun yang terjadi, lembaga zakat harus kuat, ia harus terus eksis dan terus mampu bekerja untuk kebaikan bagi sesama Keberadaan lembaga-lembaga zakat sangat bermanfaat bagi kehidupan sesama, terutama para dhuafa. Keberadaan lembaga- lembaga ini juga telah memberi pengaruh yang tidak kecil bagi ketahanan keluarga para dhuafa di berbagai daerah.

Lembaga-lembaga zakat juga selain mampu menyerap tenaga kerja berupa amil zakat, ia juga membawa misi kebaikan untuk menjaga keluarga-keluarga fakir miskin yang dibantu bisa bertahan dan hidup dalam batas kewajaran. Namun, semua itu diuji krisis Covid-19. Apakah lembaga-lembaga zakat mampu terus bertahan dan berbuat bagi sesama atau terimbas pula krisis Covid-19 yang dampaknya semakin meluas.

Krisis memang tak membuat nyaman, apalagi krisis Covid-19 ini bagi lembaga zakat mengancam tiga hal sekaligus. Pertama, ancaman amilnya terkena virus Covid-19. Kedua, ancaman berkurangnya (menurunnya) penghimpunan zakatnya. Ketiga ancaman tidak mampu berbuat sesuatu karena kesulitan anggaran keuangan (budget). Namun, krisis juga sebenarnya adalah ujian bagi lembaga zakat.

Ujian untuk kemampuan dan kekokohan organisasinya, apakah akan menurun dan hancur atau sebaliknya, makin kuat dan terus maju. Dari situasi krisis juga nantinya bila telah terlewati secara baik, akan lahir para pemimpin lembaga zakat yang mumpuni, yang mampu memahami kerumitan dan kompleksitas krisis yang terjadi dan menerpa lembaganya.

Dalam konteks bisnis, menurut Rhenald Kasali (1994: 222): “krisis adalah suatu turning point yang dapat membawa permasalahan ke arah yang lebih baik (for better) atau lebih buruk (for worse)”. Dan krisis Covid-19 ini memang datangnya tak terduga pada awalnya, juga bersumber dari eksternal lembaga. Namun dampaknya bila salah pengelolaan, akan memasuki atmosfir internal dan berisiko membawa situasi yang ada ke arah kemunduran lembaga.

Krisis ini juga menuntut lembaga zakat untuk mampu menemukan solusi yang terbaik dalam menghadapi krisis. Di sinilah kemampuan lembaga zakat teruji bagaimana dalam desain organisasinya apakah selama ini telah menyiapkan strategi mitigasi atas krisis yang kemungkinan terjadi atau tidak. Krisis sendiri bukan hanya kaena bencana atau dari eksternal semata, bisa juga krisis muncul dari adanya faktor internal lembaga.

Bagi lembaga zakat yang punya kemampuan mitigasi risiko krisis, tentu memiliki persiapan menghadapi krisis hingga penanganan untuk menghindari krisis selanjutnya. Lembaga zakat juga dituntut untuk mampu menangani segala bentuk krisis yang terjadi dalam lembaganya dengan cepat agar krisis organisasi tak meningkat menjadi keadaan kritis.

Dengan situasi ini, kembali ditegaskan bahwa sebenarnya krisis adalah suatu waktu yang krusial, atau momen yang menentukan. Dalam situasi krisis, terbangun sebuah sarana atau jembatan yang dapat membuat organisasi itu hancur atau terus berkibar kejayaannya, tergantung bagaimana organisasi itu menangani krisisnya.

Krisis sangat penting dikelola, karena bila ditangani dengan matang dan baik, maka hasil akhir dari krisis yang menerpa akan memuaskan pihak lembaga dan semua stakeholders (pihak-pihak yang memiliki kepentingan dengan lembaga). Bila krisis yang terjadi dikelola dengan baik, dan mampu dilewati dengan selamat, maka kepercayaan stakeholders akan muncul kembali seperti semula. Namun sebaliknya, jika krisis ditangani dengan tidak maksimal, maka secara otomatis bisa berdampak pada keruntuhan lembaga di masa depan.

Stakeholders yang ada, baik muzaki, mustahik, regulator zakat, dan sejumlah otoritas yang selama ini berhubungan mulai mengalami ketidak percayaan. Khusus untuk muzaki, bisa jadi mereka selain tidak percaya lagi, bukan tidak mungkin untuk menghentikan zakat, infak dan sedekahnya.

Dalam menanggulangi krisis, manajemen lembaga zakat harus mempersiapkan strategi yang tepat. Untuk merumuskan strategi, manajemen lembaga zakat setidaknya perlu melakukan langkah-langkah berikut: pemetaan penyebab krisis, visi-misi- tujuan organisasi, serta hasil bacaan terhadap analisis situasi (kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman).

Dalam manajemen krisis sendiri, ada tiga strategi yang bisa dipilih, di antaranya: 1) strategi defensif, dengan langkah-langkah mengulur waktu, tidak melakukan apa-apa, membentengi diri dengan kuat; 2) strategi adaptif, dengan langkah-langkah mengubah kebijakan, modifikasi operasional, kompromi, me- luruskan citra; dan 3) strategi dinamis, langkah yang diambil untuk strategi ini bersifat makro dan dapat mengubah karakter organisasi, strategis seperti meluncurkan produk (program) baru, menggandeng kekuatan lain untuk berkolaborasi, melempar isu baru untuk membuat lahirnya kebijakan yang diperlukan dan sebagainya.

Dalam tataran teknis, lembaga-lembaga zakat bisa melakukan sejumlah hal dalam menanggulangi krisis yang tengah berlangsung, di antaranya:

  1. Membentuk tim khusus.
  2. Membuat protokol krisis (prosedur) khusus.
  3. Menghadapi krisis dengan sistem case by case.
  4. Memberikan pelatihan dan pengarahan bagi karyawan, apa yang dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
  5. Tidak berspekulasi terhadap suatu peristiwa, baik di internal maupun eksternal.
  6. Membuka semua saluran informasi, namun tetapi mengkoordinasikannya agar tercipta satu sumber informasi yang terkendali mengenai tahapan krisis hingga penyelesaiannya.
  7. Tindakan terakhir adalah mengawasi dan mengevaluasi masalah yang telah dicapai atau yang belum diselesaikan dalam upaya mengurangi dampak dan efek krisis. Sejauh mana kerugian yang diderita, baik lembaga zakatnya maupun masyarakat lainnya, yang terseret menjadi korban dari krisis secara langsung dan tidak langsung.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News