Oleh: Ahmad Basri, Ketua Majelis Hikmah Dan Kebijakan Publik PDM Tubaba – Ketua K3PP Tubaba
Akhir cerita kesimpulan Muhammadiyah memutuskan menerima tawaran pengelolaan tambang batu bara dari pemerintah. Pro – kontra di dalam internal Muhammadiyah tentu saja tidak bisa dihindari. Sikap kritis ‘peduli’ merupakan ciri khas warga Muhammadiyah.
Keputusan tersebut diambil melalui rapat konsolidasi nasional yang diadakan dikampus Unisa Jogyakarta, pada tanggal 27 – 28 Juli 2024. Karena judulnya rapat konsolidasi nasional tentu semua pengurus wilayah Muhammadiyah hadir.
Walaupun telah memutuskan menerima tawaran pengelolaan tambang batubara dari pemerintah, Muhammadiyah tidak serta merta begitu saja menerima dengan kegembiraan yang luar biasa, dibalik itu ada catatan khusus yang mengiringinya.
Disisi lain memutuskan menerima pengelolaan tambang batubara juga telah ditelaah dari berbagai perspektif keilmuan. Masalah teori keilmuan Muhammadiyah tempat kaum intelektual hal tersebut tentu tidak perlu diragukan lagi. Lihatlah ratusan lembaga pendidikan tersebar dimana – mana milik Muhammadiyah.
Apapun bentuknya argumen ‘ dalil ‘ yang dikemukakan atas hasil rapat konsolidasi nasional Muhammadiyah, di Kampus Unisa Jogya, setidaknya telah ‘ melukai ‘ sebagian warga ‘ kader ‘ Muhammadiyah ditanah air. Mereka yang menolak Muhammadiyah menerima pengelolaan tambang batubara memiliki berbagai alasan rasional ilmiah.
Salah satunya paling fundamental tidak lain adalah bahwa, dalam prakteknya pengelolaan tambang batubara, dilakukan dengan tindakan penuh cara – cara kedzoliman – keserakahan. Kerusakan lingkungan, ketidakadilan sosial – konflik sosial ditengah masyarakat ‘ penggusuran tanah rakyat ‘ setidak merupakan cerita yang bak film sonetron yang tidak ada akhir.
Bicara pengelolaan tambang batubara, memang selalu identik dengan ‘ politik ekonomi keculasan ‘ jika ditelisik lebih dalam sarangnya berbagai macam manipulatif koruptif didalamnya. Kasus mega koruptif 271 Triliun yang mencuat kepermukaan dan kini redup entah apa alur ceritanya menghilang bak ditelan bumi tidak masalah tambang.
Daerah – daerah yang kaya melimpah dengan tambang batubara misalkan, tidak selalu berkorelasi positif paralel dengan kesejahteraan sosial masyarakat yang ada disekitarnya. Namun sebaliknya terbalik melahirkan kantong – kantong kemiskinan dimana – mana.
Hanya mereka yang memiliki akses kekuasaan ‘oligarki‘ adalah penikmat yang sesungguhnya dari pengelolaan tambang. Itulah sisi gelap yang menyelimuti bagaimana pengelolaan tambang selama ini ditanah air. Tambang sebagai ‘simbol’ kesejahteraan sosial hanya mimpi disiang bolong.
Apalagi sepuluh tahun kekuasaan Jokowi berkuasa pengelolaan tambang dilakukan dengan penuh ugal – ugalan tanpa mengindahkan rasa keadilan ditengah masyarakat. Berbagai macam kritik masyarakat tentang pengelolaan tambang yang penuh ugal – ugalan seolah – olah hanya angin lalu saja.
Termasuk sebelum menerima pengelolaan tambang, Muhammadiyah adalah yang paling keras dalam mensikapi marut – marutnya tata kelola tambang. Muhammadiyah hingga mengeluarkan Fatwa bahayanya tentang pengelolaan tambang. Fatwa tersebut tercantum didalam surat majelis tarjih dan tajdid PP Muhammadiyah nomor 077/1.1/F/2024 ( Akuratnews.co – 30 Juli 2024 ).
Tokoh – tokoh elit Muhammadiyah, seperti Amien Rais, Busyro Moqaddas, Din Syamsudin, sudah jauh hari telah menolak keras dan mewanti – wanti atas tawaran pengelolaan tambang dari pemerintah (Pemerintahan Presiden Jokowi). Mereka memposisikan diri agar Muhammadiyah tetap dalam pendirian ‘ istikomah ‘ tidak menerima tawaran pemerintah dalam pengelolaan tambang.
Cukup beralasan para tokoh tersebut memberi masukan kepada ‘pengurus‘ elit Muhammadiyah, sebab sepak terjang Pemerintahan Jokowi selama ini dianggap penuh ‘ kemunafikan ‘ dalam segala aspek pengelolaan tata kolah pemerintahan apalagi menyangkut masalah tambang. Mereka ini ( para tokoh ) tidak ingin Muhammadiyah menjadi korban akibat mengelolah tambang.
Ironisnya, pengelolaan tambang batubara yang akan dikelolah oleh Muhammadiyah disenyalir ‘ tambang bekas ‘ sisahan dari perusahaan yang tidak lagi mengelolah tambang. Tentu jika ini benar hanya mengelolah ‘ tambang bekas ‘ menjadi presiden buruk sebab bisa jadi ‘ tambang bekas ‘ meninggalkan berbagai macam permasalahan. Muhammadiyah ( maaf ) hadir hanya untuk sebatas bersih – bersih.
Disisi lain tentunya didalam internal Muhammadiyah, pasca penerimaan pengelolaan tambang batubara, akan menjadi ‘ bara api ‘ perpecahan. Inilah yang sesungguhnya harus dipahami oleh elit Muhammadiyah. Terlalu mahal harga yang harus diterima oleh Muhammadiyah jika ini sampai terjadi.
Hemat, penulis tentu harus dikaji ulang penerimaan pengelolaan tambang batubara dari pemerintah. Sebab bukan bidangnya Muhammadiyah ikut – ikutan mengelolah tambang. Sejarah Muhmmadiyah didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada 8 Agustus 1912 fokus pada gerakan sosial keagamaan. Setidaknya filosofis tersebut tetap menjadi kitab pegangan yang terus dijaga oleh semua warga Muhammadiyah.