Jangan jadikan Kampus sebagai Budak Penguasa: Kasus Pemecatan Dekan FK Unair

Oleh: Zainal Muttaqin, Praktisi Medis Bedah Saraf, Guru Besar FK Undip

Sebagaimana kita ketahui topik yang paling trending di jagat maya saat ini adalah peristiwa pemberhentian Dekan FK Unair, Prof. Budi Santosa, SpOG (biasa dipanggil dengan Prof. BUS), gegara opini beliau yang berbeda dengan dengan rencana menkes untuk mendatangkan dokter asing bak pemain bola  naturalisasi (cnnindonesia.com/nasional/20240…).

Jelas bahwa pemecatan ini dilakukan oleh rektor Unair tanpa alasan yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Statuta Unair (PP No. 30/2014) sbb.
a. Berakhir masa jabatannya; b. Meninggal dunia; c. Mengundurkan diri; d. Sakit yang menyebabkan tidak mampu bekerja secara permanen; e. Sedang studi lanjut, dan/ atau f. Dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan…. .

Persoalan utama yang membuat semua komponen masyarakat sipil terhenyak bukanlah dalam konteks ketidak-setujuan Prof.BUS terhadap rencana menkes menghadirkan dokter asing, tetapi lebih pada konteks ‘Perbedaan Pendapat’ dari seorang Guru Besar, insan akademik di dalam universitas yang yang dipadamkan dengan sebuah pemecatan.

Makna filosofis dari kata ‘universitas’ adalah tempat dimana orang boleh berbeda pendapat dengan argumentasi masing-masing dan tetap memiliki tujuan bersama yang sama.

Apalagi keputusan pemecatan ini tidak memenuhi satupun syarat yang diatur dalam PP No. 30/2014.

Kalau di kampus seorang dekan bisa dipecat hanya karena berbeda opini, apalagi bagi masyarakat awam di luar kampus. Ini memperlihatkan betapa rapuhnya perlindungan terhadap hak kebebasan berpendapat di negeri tercinta ini.

Peran rektor terkait pemecatan Prof BUS selaku Dekan FK Unair

Berikut ini adalah alasan yang disampaikan rektor terkait pemecatan tersebut: “ jika ada pimpinan universitas/fakultas/staf yang berpendapat terkait pengelolaan praktek dokter di Indonesia, misal tentang dokter luar negeri, serta mengatas-namakan institusi, hal tersebut dinilai melampaui kewenangan” (detik.com/jatim/berita/d…).

Terkait pernyatan rektor ini, kita semua pasti ingat saat awal pandemi Covid-19, ada berita ‘Peneliti Unair Temukan Lima Kombinasi Obat yang Efektif lawan Corona’ yang berkolaborasi dengan BIN dan TNI AD (news.unair.ac.id>2020/06/…).
“ Regimen kombinasi obat ini telah dinyatakan memiliki efektifitas untuk.…, dan mencegah perkembang-biakan virus” ujar Nasih di Kampus C Unair (12/6/2020) (news.detik.com>ini-lima-o…).
Euforia ini menjadi pupus tatkala BPOM menyatakan bahwa ada prosedur baku riset obat yang tidak dipenuhi sehingga hasilnya tidak valid (koran.tempo.co>read>pupus…).

Ini adalah sebuah tamparan yang memalukan bagi seorang rektor, yang teledor dan hampir saja meruntuhkan marwah Unair sebagai institusi riset yang kredibel.

Peristiwa memalukan ini harusnya membuat rektor ‘memecat’ dirinya sendiri alias mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung-jawabnya.

Perbedaan pendapat dan kebebasan berpendapat adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan berdemokrasi, dan dilindungi oleh undang-undang.

Pendapat seorang akademisi dalam kampus tentu memiliki landasan berfikir saintifik yang bisa dipertanggung-jawabkan, sehingga layak untuk didengar dan didiskusikan.

Tugas ilmuwan itu tak hanya mengajar, meneliti dan mengabdi. Tugas utamanya adalah sebagai mudzakkir, mengingatkan penguasa (QS Al Ghasiyah 21-22).

Rektor seharusnya melindungi kebebasan ini, bukan malah membungkamnya, dengan alasan yang sama sekali tidak saintifik.

Teringat kita akan kata bijak seorang Ibnu Khaldun “Orang merdeka itu membela ide yang benar, dari siapapun. Sedangkan budak itu membela tuannya, apapun idenya”.

Peran menkes dalam kasus Pemecatan Prof. BUS

Sebenarnya tidak ada pernyataan resmi dari pihak manapun yang menuduh menkes berperan dalam kasus pemecatan Prof. BUS, karena jelas bahwa institusi Unair secara struktural tidak di bawah kemenkes.

Netizen di medsos menduga adanya peran menkes hanya berdasarkan kesesuaian pernyataan Prof BUS yang menolak program menkes mendatangkan dokter asing.

Akan tetapi tiba-tiba beredar sebuah video pernyataan (pers release) Juru Bicara Kemenkes, dr. Mohammad Syahril, Sp P, MPH, bak sebuah reaksi yang diduga (kalau benar) untuk menutupi peristiwa yang sebenarnya dengan sebuah kebohongan (persis seperti ‘Maling teriak Maling’).

Pernyataan tsb antara lain:
1. Kemenkes tidak membawahi Unair dan kemenkes tidak memiliki wewenang mengatur Unair
2. Informasi yang mengatakan menkes mengontak rektor Unair untuk meminta memberhentikan Dekan FK Unair adalah tidak benar dan merupakan fitnah dan hoaks

Memang benar bahwa kemenkes tidak membawahi Unair dan tidak memiliki wewenang untuk mengatur Unair.

Fakta yang mesti diketahui oleh publik adalah menkes tercatat sebagai salah satu anggota Majelis Wali Amanat (MWA) Unair yang memiliki kewenangan antara lain untuk mengesahkan anggaran tahunan Unair, menugaskan Senat Akademik untuk melakukan seleksi calon rektor, serta mengevaluasi laporan pertanggung-jawaban rektor.

Beberapa kewenangan tersebut di atas jelas menggambarkan adanya Relasi Kuasa menkes terhadap rektor Unair.

Persoalan apakah adanya relasi kuasa menkes atas rektor Unair tersebut diatas memiliki peran atau pengaruh atas peristiwa pemecatan Prof Bus, hanya Tuhan yang paling tahu.

Tetapi jelas munculnya tuduhan adanya peran menkes dalam peristiwa ini bukanlah tanpa alasan.

Peristiwa ini mengingatkan kita pada pemecatan seorang Guru Besar FK Undip, Prof. Zainal Muttaqin sebagai seorang pendidik calon dokter dan dokter spesialis di RS Dr. Kariadi lebih setahun yang lalu.

Prof. Zainal dipecat karena tulisan-tulisan kritisnya terkait berbagai kebijakan menkes, khususnya RUU Omnibus Kesehatan.

Saat itu menkes menyatakan bahwa itu adalah kebijakan Dirut RS Kariadi terkait usia Prof. Zainal. Tetapi faktanya diakui sendiri oleh Dirut RS Kariadi bahwa keputusan pemberhentian itu adalah perintah dari dirjen yankes (bukan perintah menkes kok?).

Terlihat jelas bahwa menkes ternyata menyampaikan informasi yang tidak benar alias kebohongan.

Menkes yang satu ini sudah terlalu sering membuat pernyataan bernada sumir yang merendahkan dokter, profesi dokter, dan bahkan ilmu kedokteran (yang terakhir tentang Stetoskop yang dianggap ‘sangat Tidak Ilmiah’), bahkan menkes tidak mau mengakui bahwa pernyataan itu salah.

Sebagian pernyataan menkes bahkan ternyata hoaks (pernyataan terkait pengurusan STR berbiaya 6 juta dan pemerasan di tubuh IDI).

Oleh karena itu amat sangat wajar bila masyarakat kesehatan pada umumnya, sulit untuk percaya pada pernyatan apapun yang dibuat oleh menkes, termasuk terkait keterlibatannya dalam pemecatan Prof BUS, bak peribahasa yang terkenal ‘Sekali Lancung Keujian, Seumur Hidup Orang Tidak Akan Percaya’.

#SaveProfBUS

Simak berita dan artikel lainnya di Google News