Demo Dokter dan Nakes, Kekuatan dalam Keheningan

Oleh:  Dr. dr Iqbal Mochtar, MPH, MOHs, DipICard, DoccMed

Kemarin, Jakarta menjadi saksi sejarah. Ribuan dokter dan tenaga kesehatan (nakes) turun ke jalan berdemonstrasi. Sebagian menyebut jumlahnya lebih 10 ribuan. Mereka memadati sejumlah jalan ibukota. Saat bersamaan, berbagai aksi damai juga dilakukan diberbagai didaerah.

Tuntutan mereka jelas : pemerintah diminta menghentikan RUU Omnibus Law. RUU ini dianggap minim urgensi, parsial dan asimetris. RUU ini dianggap bukan untuk kepentingan masyarakat tetapi untuk kepentingan oligarki dan pihak lain. Banyak pasal didalamnya yang dianggap kontroversi dan lip service; gegap dalam narasi tetapi gagap dalam substansi. Syarat prosedur pembuatannyapun dinilai cacat. Bila jadi diundangkan, UU ini akan sangat mengganggu kualitas pelayanan kesehatan, mengurangi standar keamanan layanan medis serta menghilangkan perlindungan bagi tenaga kesehatan yang menjalankan tugasnya.

Demonstrasi kemarin tentu bukan hal biasa. Tidak sama dengan momen unjuk rasa lain yang sering terjadi diibukota. Alasannya, yang berdemo adalah dokter dan nakes yang sejatinya merupakan silent profesional. Profesi ini tidak hiruk-pikuk; mereka bekerja dengan penuh dedikasi dalam ‘kesunyian’; tanpa banyak bicara. Mereka adalah low-profile professional. Berdemonstrasi dan unjuk rasa bukan karakter mereka. Artinya, ketika mereka melakukan aksi, ini sebenarnya sinyal bahwa mereka telah masuk pada fase eneg atau dekompensasi kronis. Ada ketidakpuasaan dan ketidaksetujuan serius terhadap suatu hal, yang penggemaannya tidak bisa lagi tersalurkan lewat model komunikasi biasa. Ini merupakan awkward phenomenon.

Ketika dokter dan nakes melangkah keluar dari zona ‘hening’ dan mengambil tindakan kolektif dalam bentuk demonstrasi, itu menunjukkan bahwa situasi yang dihadapi serius yang membutuhkan pengungkapan keprihatinan secara publik dan demonstratif. Makanya, aksi seperti ini jangan diunderestimasi apalagi dipandang enteng. Ujung-ujungnya bisa sangat serius.

Baca juga:  Kasus Rempang Bukti Jokowi Harus Dimakzulkan

Selama ini, dokter dan nakes telah membuktikan diri mereka sebagai real hero bidang kesehatan. Pengabdian mereka bukan abal-abal atau hanya duduk dibelakang meja. Mereka menjadi front-liner pada setiap even kesehatan, termasuk yang sangat membahayakan.

Terakhir, saat kebanyakan masyarakat mengisolasi diri dirumah, mereka justru berdiri digaris terdepan menghadapi penyakit Covid-19 yang membunuh jutaan umat manusia. Saat berjuang demikian, mereka menghadapi risiko sangat berat, yaitu kematian.

Faktanya, ribuan tenaga kesehatan meninggal saat berperang melawan Covid-19 dan diantaranya lebih 700 dokter. Mereka memang tidak pernah lelah dan takut memberikan dedikasi luar biasa dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan dan ketidakpastian sekalipun.

Sayangnya, dibalik pengabdian mereka, para dokter dan nakes saat ini justru diperhadapkan dengan tantangan sistemik berupa munculnya RUU tidak memihak, dan bahkan mencederai mereka. RUU Omnibus dalam analisis mereka penuh ketidaktepatan dan kerancuan yang berpotensi merugikan profesi medis dan pelayanan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Analisis para dokter dan nakes ini tentu saja tidak bisa dianggap ringan. Alasannya, mereka adalah profesi yang terlibat langsung dalam pelayanan kesehatan masyarakat dan merupakan sosok yang paham betul tentang kompleksitas sistem kesehatan. Mereka tahu apa yang diperlukan untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Suara mereka sangat layak didengar dan dipertimbangkan.

Aksi damai yang dilakukan oleh dokter dan nakes menunjukkan solidaritas dan keberanian memperjuangkan hak-hak mereka. Mereka menggunakan hak demokratis untuk berbicara dan memprotes ketidakadilan yang dirasakan.

Baca juga:  Koalisi Perubahan: Now Or Never

Aksi ini bisa menjadi position balancer antara para dokter dan nakes dengan pemangku kepentingan, pemerintah, dan masyarakat untuk mencapai solusi yang lebih baik dan adil. Aksi mereka merupakan dorongan kolektif untuk mengubah sesuatu yang dianggap tidak benar atau tidak adil. Dalam masyarakat yang menghargai kesunyian dalam tindakan (silence in action) dan profesionalisme, demonstrasi dokter dan nakes merupakan ‘pemberontakan pikiran dan hati’.

Aspirasi dan tuntutan yang disampaikan oleh dokter dan nakes melalui demonstrasi dan aksi lainnya tidak boleh disepelekan. Profesi ini memiliki militansi tinggi dan daya tawar sangat kuat. Bila aksi mereka disepelekan, bisa saja mereka mengambil langkah eskalatif, termasuk mogok nasional atau penghentian sementara pelayanan kesehatan. Konsekuensinya akan sangat serius. Jangan mengabaikan fakta bahwa jika dokter atau nakes berhenti bekerja, pelayanan kesehatan akan lumpuh. Pasalnya, sulit mencari pengganti profesi ini. Pasokan pelayanan kesehatan akan terputus yang membuat orang sakit akan berteriak pilu. Ini dapat mengancam ketahanan sistem kesehatan nasional.

Langkah-langkah eskalatif ini bisa saja akan diambil oleh mereka. Jangan karena mereka adalah ‘silent dan low-profesional profile’ lantas muncul anggapan mereka tidak akan melakukan hal-hal eskalatif.

Dokter dan nakes juga adalah manusia biasa. Ketika batas toleransi mereka terlampaui, mereka bisa menjadi extra-ordinary. Bukankah binatangpun akan melawan dan membela diri ketika mereka terancam atau tersakiti?

***
#StopPembahasanRUUKesehatan