Impor Migas Buat APBN Sekarat

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Kenapa impor Minyak dan Gas Bumi (migas) dan produk kilang seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya jenis solar semakin meningkat!? Bahkan, Presiden Joko Widodo berulangkali mengungkapkan kekesalannya terhadap tingginya impor migas yang sampai saat ini tidak teratasi. Kekesalan itu pernah diungkapkan saat membuka acara Musrenbangnas di Istana Negara, pada Hari Senin 16 Desember 2019 masa awal periode kedua pemerintahannya. Lalu, pertanyaan publik tentu saja adalah sudahkah kekesalan Presiden Republik Indonesia atas impor migas yang membengkak ini ditindaklanjuti dan ada penyelesaiannya?

Faktanya, justru data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tertuang dalam ‘Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022’, menunjukkan bahwa impor produk kilang seperti BBM mengalami kenaikan sebesar 12,6% dalam periode 2019-2022. Pada tahun 2022 impor BBM sejumlah 27,86 juta kilo liter (kl) dibandingkan tahun 2019 yang tercatat hanya sejumlah 24,73 juta kl. Artinya, terdapat kenaikan impor produk BBM sejumlah 3,13 juta kl yang menguras devisa negara, hanya pada tahun 2020 impor menurun menjadi 19,93 juta kl. Sedangkan, mengacu data BPS sampai bulan Maret 2024 impor migas dan BBM telah mencapai 4,66 juta kl dan meningkat dibanding bulan Februari 2024 yang sejumlah 4,29 juta kl. Jika angka ini konstan diperkirakan impor migas dan BBM pada bulan Juni 2024 bisa mencapai kurang lebih 15 juta kl.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor migas Indonesia sejak tahun 2019-2023 juga mengalami kenaikan signifikan. Pada tahun 2019, nilainya mencapai US$21.885,3 atau setara dengan Rp312,96 triliun (kurs US$1= Rp14.300) dan pada tahun 2022 telah mencapai US$40.416,4 yang nilainya setara Rp636,558 triliun (kurs US$1=Rp15.750). Artinya terdapat kenaikan jumlah US dollar yang dibutuhkan setiap adanya peningkatan jumlah impor migas yang akan menggerus devisa negara dan lebih banyak Rupiah yang harus disediakan. Sementara itu, Indonesia juga melakukan kegiatan ekspor migas yang pada tahun 2019 tercatat senilai US$11.789,3 atau setara dengan Rp168,59 triliun, sedangkan pada tahun 2022 senilai US$15.998,2 atau setara dengan Rp251,17 triliun.

Seperti yang diketahui, bahwa Indonesia merupakan negara net importir migas, yangmana untuk mengatasi kekurangan produksi atas konsumsi itu salah satu caranya, adalah pada tahun 2024 akan menyasar produksi minyak mentah mencapai 703.000 barel per hari (bph). Sementara kebutuhan minyak mentah Indonesia mencapai sekitar 1,4 juta bph. Untuk menutup selisih kebutuhan Indonesia tersebut masih harus melakukan impor sejumlah 700.000 bph, termasuk juga melakukan diversifikasi energi. Namun, anehnya mengapa justru kebutuhan importasi semakin besar jumlah dan nilainya, bagaimana halnya dengan perkembangan teknologi pengolahan kilang dan pembangunan kilang baru yang telah dijalankan? Sebab, jika impor migas dan BBM terus dilakukan ditengah depresiasi Rupiah atas US dollar yang mencapai Rp16.450, maka nilai impor jelas semakin membengkak, yaitu lebih dari Rp658 triliun.

Ada apa sebenarnya dengan kebijakan perizinan impor migas (minyak mentah/crude oil) yang telah dilakukan oleh otoritas terkait? Impor yang tidak terkendali ini jelas akan berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terkait pada defisit transaksi berjalan (current account defisit) dan kinerja pemerintahan. Sebab, setiap kenaikan nilai kurs mata uang US dollar terhadap Rupiah (depresiasi) akan menguras lebih banyak Rupiah untuk ditukarkan menjadi US dollar dalam transaksi impor migas dan BBM. Tidakkah sebaiknya ekspor migas yang dibatasi untuk menutup kekurangan produksi migas di dalam negeri lebih masuk akal atau rasional dibandingkan melakukan importasi yang membuat APBN sekarat dan defisit transaksi berjalan semakin melebar? Bagaimana menurut Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati?

Simak berita dan artikel lainnya di Google News