Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
“Tidak ada, tidak ada (pembicaraan bursa menteri). Hari ini saya dipanggil Pak Prabowo ke Bali untuk berbicara malam ini. Untuk berdiskusi biasa saja,” [Maruarar Sirait, Minggu, 19/5/2024]
Politikus (pendatang) Gerindra Maruarar Sirait (Ara) mengaku dipanggil oleh Ketum Gerindra sekaligus presiden terpilih Prabowo Subianto ke Bali pada Minggu (19/5). Ia mengatakan panggilan itu sekadar untuk pertemuan biasa.
Namun, spekulasi publik tetap mengaitkan panggilan tersebut terkait pembagian posisi jatah kekuasaan pasca Pilpres 2024. Maruarar sendiri, termasuk mengeluarkan energi besar untuk mendukung Prabowo, dengan membelot dari PDIP, partai yang telah membesarkan dirinya.
Sementara bagi PDIP, Maruarar Sirait bisa saja sudah dianggap Malin Kundang kedua setelah Jokowi, yang dengan entengnya meninggalkan PDIP, setelah merasa kaya menjadi pengusaha dan bermitra dengan Aguan (Agung Sedayu Group) dan menempel pada kekuasan Jokowi. Aguan sendiri, diduga kuat adalah mentor Politik Jokowi, yang mewariskan teknik ‘menyandera secara hukum & politik’ agar mendapatkan kesetiaan dan mampu mengendalikan lawan, aparat negara hingga mitra politik.
Ditubuh Gerindra sendiri, patut diduga sedang terjadi pertarungan sengit antara kubu timses (TKN) dan kubu Relawan. Keduanya, sama-sama merasa punya peran besar memenangkan Prabowo, sehingga sama-sama punya hak atas jatah kue kekuasaan.
Rencana perubahan UU Kementerian Negara untuk meningkatkan jatah menteri partai, belum bisa sepenuhnya memenuhi ekspektasi pertarungan kepentingan kubu TKN dan Relawan. Sampai saat ini, masih belum ada kesetimbangan politik ditandai belum tuntasnya keputusan Prabowo untuk menetapkan partai koalisi dan mengunci pintu koalisi untuk partai lainnya.
NasDem dan PKB, berpeluang besar merapat. Sementara PKS, posisinya masih mengambang. Ada dua hambatan bagi PKS untuk diterima bergabung.
Pertama, faktor penolakan internal koalisi Prabowo yang terbuka, terutama dari Gelora. Meskipun, sebenarnya parpol lainnya juga tak happy jika parpol lawan bergabung, karena berpotensi menggerus jatah menteri parpol pengusung.
Kedua, faktor kurang urgensi. Mengingat, jika NasDem dan PKB bergabung, maka suara parlemen sudah 70 % lebih dikuasai Prabowo, sehingga kuat dugaan PKS akan dibiarkan diluar (berada di oposisi) sekedar mejaga agar PKS tetap berperan sebagaiĀ ‘tukang teriak’ diluar dan dapat diklaim bahwa demokrasi masih berjalan karena masih ada oposisi.
Adapun pertarungan politik antara Timses (TKN) dan Relawan, lebih keras ketimbang perseteruan Parpol pengusung dan yang akan bergabung, disebabkan beberapa alasan:
Pertama, baik Timses maupun Relawan, keduanya sama-sama merasa punya peran besar memenangkan Prabowo Gibran. Karena itu, semuanya sama-sama punya hak atas jatah kue kekuasaan yang menjadi tujuan akhir dari pemenangan.
Kedua, baik Timses maupun Relawan, keduanya sama-sama memiliki dan mengetahui rahasia politik kemenangan Prabowo Gibran, sehingga jika bagian kue kekuasaan dirasa tidak adil, mereka lebih otoritatif menggaungkan Pilpres curang dengan berbagai data dan informasi yang mereka miliki.
Ketiga, baik Timses maupun Relawan, keduanya sama-sama sulit dikesampingkan perannya, ketimbang Parpol yang baru merapat setelah kalah jagoan mereka. Semangat tiji tibeh, bisa menjadi ancaman gagalnya konsolidasi kekuasan dan bisa saja kue yang sudah rapih diiris dan akan dibagikan, bisa tumpah berantakan.
Demikianlah, hakekat politik dalam sistem demokrasi yang substansinya hanya berburu kekuasan. Setelah Pemilu dan Pilpres, rakyat tidak pernah lagi dilibatkan. Saat pesta kemenangan, para pemilik saham kemenangan-lah yang berebut deviden politik atas usaha dan andil yang mereka berikan. [].