Ketemu Kangen Bang Noersy, Bang Abdullah Hehamahua Sekaligus Titip Pesan Agar Prabowo tak Ambil Luhut di Jajaran Kabinet

Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik

Sore itu, Kamis 9 Mei 2024, sekira pukul 14.45 WIB Penulis telah sampai di parkiran Hotel Sofian, Tebet. Agenda silaturahmi dan podcast dengan sejumlah tokoh, telah direncanakan di hotel ini.

Qadarullah, Bang Refly Harun (RH) tidak bisa datang, karena ada udzur. Namun, agenda tetap jalan karena selain Bang RH, penulis juga akan ketemu dengan Bang Ichsanuddin Noorsy dan Bang Abdullah Hehamahua.

Bang Ichsan, adalah seorang Ekonom Politik. Bahkan, lebih lengkapnya Ekonom Politik Ideologis. Sebab, Bang Ichsan tidak pernah melepaskan kajian Ekonomi dari perspektif politik dan ideologi.

Perspektif politik, itu artinya kebijakan ekonomi tak pernah lepas dari tujuan otoritas politik yang hendak dicapai melalui instrumen ekonomi. Perspektif ideologi, artinya tidak melepaskan tujuan politik ekonomi sebuah negara, dengan ideologi politik yang diemban oleh negara tersebut.

Bang Abdullah Hehamahua, sangat mengerti dan memahami secara rinci genealogis KPK. Sehingga, dalam melihat fenomena pelemahan bahkan ‘pembunuhan KPK’, beliau selalu mengaitkannya dengan aspek kesejarahan dan dinamika internal KPK yang beliau ikuti, selama beliau menjadi penasehat KPK.

Karena itu, saat ditanya tentang perseteruan Nurul Gufron (Pimpinan KPK) dan Albertina Ho (Dewas KPK), juga mengapa Firly Bahuri belum juga ditangkap sampai hari ini, meskipun telah ditetapkan Tersangka, jawaban dan penalaran yang disampaikan Bang Abdullah yang menggunakan kata kunci ‘saling sandera’ sangat memuaskan.

Sejurus kemudian, Bang Ichsanuddin Noorsy datang. Tidak berselang lama, Bang Abdullah Hehamahua juga datang. Akhirnya, setelah Penulis sholat Ashar kami bertiga ngobrol berbagai dinamika politik dan masalah keumatan, termasuk masa depan umat pasca Pemilu 2024, dilanjutkan mengadakan diskusi bersama yang dipandu Host Arif Nugroho.

Bahasan podcast memang tidak spesifik, lebih dikaitkan dengan ekspert para narasumber. Bang Abdullah Hehamahua yang mengawali pemaparan terkait korupsi dan KPK, Bang Ichsan mendiskusikan masalah ekonomi politik serta berbagai fenomena perang dagang global, barulah penulis berkesempatan berbicara mengenai masalah kedaulatan hukum.

Ide kedaulatan hukum, sebenarnya hanya ada dalam konsep Islam. Mengingat, dalam sistem selain Islam tidak ada kedaulatan hukum, yang ada hanya kedaulatan kekuasaan.

Konsepsi negara hukum (Rechtstaat) hanya ada pada sistem Islam. Sementara sistem selain Islam, mengadopsi konsep negara kekuasan (Machstaat).

Dalam sistem demokrasi, misalnya. Hukum dibentuk oleh otoritas kekuasaan. Sehingga, norma hukum sangat tergantung dengan selera penguasa. Hukum adalah produk politik, jadi hukum adalah determinasi politik. Hukum bukan faktor dominan, yang dominan adalah politik.

UU yang dikeluarkan DPR, Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden, Perda yang dikeluarkan DPRD, semuanya adalan hukum yang lahir dari produk politik. Otoritas politik lah, yang membentuk hukum.

Kedaulatan rakyat hanya utopia, karena sejatinya yang berdaulat adalah kapital yang telah membeli daulat rakyat melalui Pemilu. Sehingga, hukum produk politik tidak mencerminkan aspirasi atau kehendak rakyat, melainkan kehendak para pemegang kapital (oligarki).

Corak hukum seperti ini selalu zalim. Karena norma yang dibentuk hanya menguntungkan dan untuk kepentingan penguasa dan oligarki. Sementara rakyat, dipaksa tunduk pada norma hukum bentukan otoritas kekuasan.

Dalam sistem kerajaan, juga demikian. Hukum adalah produk Raja, Raja adalah penguasa. Sehingga hukum, adalah produk politik, produk kekuasan (Raja).

Rakyat dipaksa tunduk pada norma yang berasal dari titah Raja. Aturan Raja, hanya akan menguntungkan kekuasaannya. Misalnya, aturan suksesi yang dilakukan dengan sistem putra mahkota.

Sementara Islam dengan sistem Khilafah, benar-benar meletakkan kedaulatan ditangan hukum (syara’). Rakyat dan penguasa tunduk pada norma syariat. Syariah bukan dibentuk atas kehendak Khalifah, bukan juga berasal dari rakyat. Syariat berasal dari Wahyu Allah SWT, baik dari Al Qur’an, as Sunnah, atau apa yang ditunjuk oleh keduanya berupa Ijma’ Sahabat dan Qiyas.

Khalifah hanya mengistimbath sejumlah dalil syara’, lalu dilegalisasi sebagai UU yang mengikat bagi publik, untuk mengelola pemerintahan. Jadi, Khalifah bukan pembuat hukum, hanya mengistimbath dan melegalisasi syariat. Sumber hukum dan pembuat hukum tetap menjadi hak Allah SWT.

Khalifah tunduk pada syariat. Rakyat juga tunduk pada syariat. Rakyat mentaati penguasa, karena taat syariat. Penguasa berbuat adil kepada rakyat, karena mentaati syariat.

Hubungan rakyat dengan penguasa tidak dibangun berdasarkan interaksi dominan atau determinan, melainkan berdasarkan kedudukan yang sama dihadapan Syara’, dengan batasan tugas, kewajiban, kewenangan, hak dan tanggungjawab berdasarkan Syara’.

Tugas penguasa (Khalifah) adalah menerapkan syariat. Tugas rakyat adalah mentaati dan mengontrol penguasa dalam menerapkan syariat. Jadi, tidak ada kedudukan istimewa antara rakyat dengan penguasa, yang membedakan hanyalah tingkah ketaqwaannya.

Khalifah, tidak memiliki privelige dimata hukum. Khalifah tidak memiliki kekebalan hukum. Jika Khalifah mencuri, akan dipotong tangannya. Jika berzina, akan dirajam. Jika minum khamr, akan dicambuk. Jika makan riba, akan kena ta’jier, jika melanggar UU Administrasi dan Mukholafah, akan dikenai sanksi. Bahkan, jika Khalifah melakukan kekufuran yang nyata, maka Khalifah harus dimakzulkan.

Penulis lalu kaitkan, konsep negara kekuasaan itu dalam praktik putusan MK. MK tidak akan memutus perkara, yang berlawanan dengan kehendak penguasa. Karena yang berdaulat di MK, bukan hukum, melainkan kekuasaan.

PIK 2 mendapatkan fasilitas PSN, juga bukan konfirmasi Negara hukum. Melainkan, konfirmasi Negara kekuasaan. Dengan memanfaatkan kedekatannya pada Jokowi, Aguan bisa memesan proyek komersilnya di PIK 2 menjadi PSN (Proyek Strategis Nasional), agar mendapatkan berbagai layanan dan fasilitas dari Negara.

Dalam kesempatan diskusi, Penulis juga sempat menyinggung Luhut Binsar Panjaitan. Bahkan, Penulis menilai Luhut adalah Toxic dimana kabinet Prabowo kelak harus steril dari pengaruh Luhut. Luhut, sudah terlalu jauh merusak hak konstitusi berupa kemerdekaan berpendapat melalui kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Luhut juga telah menjadikan bumi, air, udara dan kekayaan yang terkandung didalamnya, tidak digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, melainkan untuk kemakmuran China. [].

Simak berita dan artikel lainnya di Google News