Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), calon pemimpin (Khalifah) harus memenuhi syarat sebelum memegang jabatan kekhilafahan. Selain wajib Muslim, laki-laki, berakal, dewasa, adil dan memiliki kemampuan mengemban tugas kekhilafahan, calon Khalifah juga harus merdeka.
Merdeka, dalam dua pengertian sekaligus. Yang pertama, seorang Khalifah harus berstatus merdeka, bukan budak. Sebab, seorang budak ada pada kendali tuannya, sedangkan jabatan Khalifah harus dipegang orang yang merdeka.
Yang kedua, merdeka dalam pengertian independen. Seorang Khalifah, juga harus independen, merdeka, lepas dari belenggu atau intervensi politik dari kepentingan apapun.
Jadi, seorang Khalifah tidak boleh yang takut istri atau yang dikendalikan istri. Seorang Khalifah juga tak boleh dibawah kendali oligarki atau partai politik. Secara substansial, Khalifah harus merdeka karena esensi pemimpin adalah yang merdeka menjalankan kekuasaannya.
Dalam konteks Prabowo Subianto, nampaknya Prabowo tak memiliki sifat merdeka ini. Prabowo terlihat tak independen dan berada dalam tekanan.
Salah satu konfirmasinya, adalah adanya info yang beredar dikalangan politisi dan parpol, tentang rencana Prabowo untuk menambah jumlah kementrian dari 34 menjadi 38 atau 40 pos kementerian, untuk tujuan mengakomodir parpol yang merapat.
Tempo menulis, untuk parpol pengusung Prabowo yang lolos parlemen mendapat jatah 2-3 pos menteri. Untuk parpol pengusung yang tak lolos parlemen, mendapat jatah 1 menteri atau wakil menteri. Untuk partai baru yang dulu melawan dan sekarang merapat, seperti NasDem dan PKB kabarnya kebagian 1 sampai 2 menteri.
Belum lagi, jatah menteri untuk orang di lingkaran Jokowi. Jokowi melalui Gibran, tentu punya portofolio untuk menempatkan orang di kabinet atas jasanya memenangkan Prabowo.
Kabar ini membuktikan, Prabowo tak memiliki independensi sebagai pemimpin untuk menentukan menteri. Semestinya, sebagai Presiden nantinya, Prabowo punya hak prerogratif untuk hanya membagi menteri bagi parpol pengusung dan menolak parpol lawan merapat.
Tetapi Prabowo menyadari dirinya ringkih, tak akan kuat menyeimbangkan kekuasan jika PKB dan NasDem menjadi oposisi. Prabowo bukanlah pemimpin tangguh yang layak disebut macan asia. Jangankan melawan negara asia, melarang rongrongan parpol yang berebut jatah menteri pun, Prabowo tak sanggup bersikap tegas.
Celakanya, parade bagi-bagi kursi menteri ini dipertontonkan secara telanjang kepada rakyat. Tidak seperti orde baru, yang pembahasannya diruang tertutup. Rakyat jadi tahu, bahwa politisi dan parpol hanya berebut kekuasaan, bukan komitmen dan loyal pada aspirasi rakyat.
Sementara Prabowo sendiri, sebagai calon penguasa terlihat tak berdaya. Prabowo akan menjadi pemimpin gemoy dengan kabinet tambun, karena mengakomodir rongrongan parpol dan elit politik. Prabowo, akan disibukan melayani parpol dan elit, sementara rakyat hanya akan kebagian jatah untuk membiayai pesta pora para elit, melalui kenaikan pajak, TDL, penghapusan subsidi BBM, dan sejumlah kebijakan yang memberatkan lainnya. [].