Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Pemerintah, lagi-lagi, membuat ulah. Kali ini, mengenai pungutan kepada masyarakat. Tersiar berita, pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk menarik uang masyarakat, ‘berkedok’ iuran pariwisata melalui tiket penerbangan.
https://bisnis.tempo.co/amp/1860856/wacana-iuran-dana-pariwisata-di-tiket-pesawat-pemerintah-bisa-kantongi-ratusan-miliar-setahun
Rencana ini sudah ditentang oleh banyak pihak, termasuk oleh beberapa anggota Komisi V DPR. Alasannya, iuran pariwisata berpotensi melanggar Undang-Undang (UU) No 1/2009 tentang Penerbangan.
Nampaknya, pemerintahan Jokowi ini memang gemar melanggar UU. Bahkan melanggar Konstitusi. Apakah memang mereka tidak mengerti peraturan perundang-undangan, dan tidak mampu mengelola negara ini, atau memang mereka ini bermental ‘preman’ yang suka ‘memalak’ rakyat?
Yang namanya preman, mereka mengandalkan kekuatan dan kekuasaan untuk menarik uang dari masyarakat secara tidak sah dan melanggar hukum, alias memalak, tanpa ada dasar hukum.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Premanisme
Pemerintah ternyata juga berperilaku seperti preman, menarik dana dari masyarakat secara tidak sah dan melanggar UU, bahkan melanggar Konstitusi, berkedok iuran pariwisata yang ditarik melalui tiket penerbangan.
Iuran pariwisata ini ilegal, meskipun dikemas atau difasilitasi dengan Perpres.
Karena, menurut konstitusi, setiap pungutan wajib kepada masyarakat harus diatur dengan UU. Tidak boleh dengan Perpres.
Pasal 23A Undang-Undang Dasar secara jelas menyatakan bahwa:
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Bunyi Pasal 23A UUD ini singkat dan jelas, dengan tujuan untuk melindungi masyarakat agar pemerintah tidak bisa sewenang-wenang mengenakan pajak, atau iuran atau pungutan wajib yang bersifat memaksa kepada masyarakat.
Oleh karena itu, pungutan wajib yang bersifat memaksa tersebut harus diatur dengan UU, dan tidak boleh hanya dengan Perpres. Dengan kata lain, pungutan wajib dan memaksa yang hanya diatur dengan Perpres adalah ilegal.
Apa arti pungutan atau iuran wajib dan bersifat memaksa? Pungutan atau iuran wajib yang bersifat memaksa pada prinsipnya adalah pajak.
Pasal 1 angka 1 UU No 28 Tahun 2007 tentang perubahan perubahan atas UU Perpajakan mendefinisikan: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara …. yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung (kontraprestasi) ….
Artinya, semua pungutan atau iuran wajib yang bersifat memaksa masuk kategori pajak dan harus diatur dengan UU.
Bersifat memaksa artinya, mereka yang tidak membayar pungutan atau iuran wajib yang diatur dengan UU dapat dikenakan sanksi pidana dan atau administrasi.
Sebaliknya, tanpa diatur dengan UU maka pungutan atau iuran yang dikenakan kepada masyarakat menjadi ilegal, dan maka itu masyarakat tidak wajib membayar pungutan tidak sah tersebut.
Beda dengan retribusi, yaitu iuran kepada pemerintah (biasanya pemerintah daerah) yang sifatnya sukarela, dan dengan imbalan (prestasi).
Meskipun demikian, retribusi juga harus diatur dengan UU atau Peraturan Daerah. Misalnya iuran atau retribusi pelayanan kebersihan (persampahan). Iuran ini wajib dibayar oleh masyarakat yang menerima imbalan pelayanan tersebut.
Akan tetapi, kalau tidak membayar retribusi ini, masyarakat tidak bisa dikenakan sanksi pidana maupun administrasi, kecuali tidak mendapat pelayanan (prestasi) dimaksud. Misalnya, sampahnya tidak diambil oleh dinas kebersihan.
Apapun bentuknya, apakah termasuk pajak (atau pungutan wajib) yang bersifat memaksa tanpa imbalan (kontraprestasi) atau retribusi dengan imbalan (prestasi), keduanya harus diatur dengan UU. Kalau tidak, maka pungutan wajib dan retribusi tersebut tidak sah, ilegal, dan melanggar konstitusi.
Jadi, iuran pariwisata yang hanya diatur dengan Perpres melanggar Konstitusi Pasal 23A.