Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
“Secara struktur organisasi menjabat di berbagai bidang seperti doktrin atau dakwah, kemudian bendahara keuangan, rekrutmen, dan lembaga pendidikan,” [Brigjen Trunoyudo, Karo Penmas Polri, Jumat 19/4]
Saat publik sedang fokus menuntut keadilan agar MK memberikan putusan adil terkait Pemilu curang, Densus 88 kembali berulah. Densus dikabarkan menangkap delapan orang yang diklaim teroris jaringan Jemaah Islamiyah (JI), di Sulawesi Tengah.
Karo Penmas Polri Brigjen Trunoyudo mengatakan delapan orang itu ditangkap oleh densus di beberapa wilayah yang berbeda pada periode Selasa (16/4) hingga Kamis (18/4). Menurut Trunoyudo, para tersangka juga terlibat aktif mengikuti pelatihan fisik paramiliter di wilayah Poso, Sulawesi Tengah.
Tanpa memikirkan suasana kebatinan umat Islam, penangkapan disebut dilakukan atas dasar adanya peran dakwah dalam organisasi. Dakwah yang merupakan kewajiban agung, dimonsterisasi seolah doktrin sesat yang menakutkan.
Densus hanya sibuk menangkapi umat Islam yang dinarasikan terkait terorisme, lalu mendeskripsikan sejumlah ajaran Islam seperti pendidikan dan dakwah, sebagai ajaran yang menakutkan. Disisi lain, densus 88 bungkam pada teroris OPM yang beragama kristen, yang jelas melakukan pembunuhan dan pembantaian terhadap anggota TNI, anggota Polri, bahkan warga sipil.
OPM yang jelas teroris, jelas membunuh, jelas menimbulkan ketakutan, merusak fasilitas strategis, fasilitas publik dan internasional, motifnya jelas politik ingin merdeka dan memisahkan diri dari NKRI, tidak diburu oleh densus. Sementara TNI, tidak berani mengambil sikap tegas karena masalah OPM dianggap sebagai isu penegakan hukum yang harus diselesaikan oleh Polri, bukan dengan pendekatan perang dengan kekuatan militer TNI.
Meskipun anggota TNI banyak yang dibunuh OPM, TNI tak dapat mengambil sikap tegas karena khawatir dianggap melanggar HAM. Otoritas politik yakni Presiden Jokowi, juga terus membiarkan OPM tak jelas jenis kelaminnya, sehingga OPM dapat leluasa membunuh anggota TNI, sementara anggota TNI tidak dapat menuntut balas dan menumpas OPM karena OPM tidak diklasifikasi sebagai ancaman kedaulatan melainkan hanya dianggap kriminal bersenjata yang penyelesaiannya dengan penegakan hukum, bukan dengan pendekatan perang.
Densus 88 yang punya tugas menegakkan hukum, penyidik yang harusnya memburu teroris OPM, malah membiarkan OPM merajalela, membiarkan OPM membunuh anggota TNI dan Polri juga sipil. Pada saat yang sama, densus 88 justru sibuk ‘memproduksi’ teroris yang dikaitkan dengan umat Islam dan ajarannya.
Pada kasus Ustadz Farid Okbah, Ustadz Ahmad Zain an Najah, Ustadz Anung Al Hamat, densus 88 juga membabi buta menangkapnya, memframing negatif dakwah dan pendidikan Islam, menuduh melakukan tindakan terorisme. Setelah di persidangan gagal membuktikan tuduhan terorisme, jaksa akhirnya mendakwa dengan dalih menyembunyikan informasi terorisme.
War on terrorism sejatinya war on Islam. Lihat saja, semua korban keganasan densus 88 adalah umat Islam, dan semua narasi terorisme selalu dikaitkan dengan ajaran Islam.
Karena itu, umat Islam harus melawan narasi terorisasi Islam. Umat Islam harus melawan dan jangan mau dijadikan tumbal dalam isu terorisme.
Dalam isu terorisme, umat Islam menjadi korban sekaligus dituduh sebagai pelakunya. Sungguh, umat Islam benar-benar seperti makanan di nampan yang jadi rebutan. Darah dan nyawa umat Islam, seolah tidak ada harganya. [].