Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)
Demokrasi Indonesia yang terkorup artikel Margaret Scott (Edisi 4 April 2024) memuat cerita panjang, di balik kemenangan Prabowo- Gibran dalam pemilu bulan 14 Februari 2024 lalu, terdapat kisah rumit tentang bagaimana Presiden Joko Widodo telah mengkooptasi sebagian besar masyarakat Indonesia sambil mengkonsolidasikan kekuasaan yang sangat besar.
Bahkan pasangan Paslon 02 berani merayakan kemenangannya dihari yang sama saat proses pemilihan pada hari itu baru selesai, dengan hanya menyandarkan pada hasil Quick Count dengan suara perolehan suara lebih dari 58 persen.
Angka kemenangan tersebut tidak berubah sampai penentuan atau penetapan kemenangannya pada tanggal 20 Maret 2024, oleh KPU.
Margaret Scott sama sekali tidak menyinggung tentang rekayasa kemenangan yang telah direkayasa dengan berbagai rekayasa alat bantu Sirekap tetapi arah petunjuknya memberikan arah yang mudah ditebak.
Semua fakta terbaca dengan jelas Jokowi telah melakukan mengamankan kekuasaan untuk Prabowo dan Gibran dengan mengawasi dan melakukan sistem demokrasi Indonesia dengan brutal disertai dukungan finansial yang sangat besar.
Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Jokowi telah berhasil merusaknya.
Untuk meraih kemenangannya Prabowo harus menyerah kepada Jokowi, suka atau tidak harus menerima Gibran sebagai Cawapres nya, beban resiko politik yang sangat besar. Gibran sebagai Cawapres dengan cacat konstitusi bahkan harus menerima stigma Cawapres anak haram konstitusi.
Jokowi seperti tidak mau ambil pusing, sekalipun akan digugat lewat Mahkamah Konstitusi (MK) toh tidak akan bisa diubah.
Hujan caci maki dan hujatan Jakowi telah melakukan kecurangan, sebagai penghianat dan perusak demokrasi, semua diabaikan dengan target asal sudah ditetapkan KPU sebagai pemenang.
Perlawanan rakyat dalam bentuk demo muncul terus menerus, harus berhadapan dengan kekuatan aparat keamanan yang siap setiap saat menangkap para pendemo, bahkan terpantau dilakukan dengan kekerasan.
Teriakan para aktivis bahwa rakyat telah di tipu Jokowi, “lawan – lawan” semua kandas melawan aparat keamanan negara yang jauh hari telah di siapkan. Jokowi telah mengkonsolidasikan kekuasaan yang sangat besar adalah sebuah kisah yang luar biasa dan rumit.
Untuk memenangkan Capres dan Cawapres , Jokowi terang terangan menggunakan fasilitas, aparat/aparatur negara. Pesannya jelas suara untuk mereka adalah suara untuk kemenangan Paslon Capresnya.
Demikianlah juga “Mietzner”, seorang profesor dari Australian National University dan pakar terkemuka di Indonesia, menulis buku penting jauh sebelum pemilu, buku ini menggambarkan peta jalan mengenai apa yang telah terjadi.
Demokrasi di Indonesia telah runtuh. Indonesia yang tiada henti untuk mencapai stabilitas politik dan ia bertanya-tanya apakah upaya tersebut “menjadi sumber keruntuhan demokrasi.” Berkali-kali, jawabannya adalah “ya”.
Mietzner menggambarkan bagaimana Jokowi, dalam membangun politik koalisi dan demokrasi patronase di Indonesia, menyempurnakan sistem saling memberi dan menerima melahirkan kemunduran demokrasi.
Dia memberi penghargaan kepada mereka yang melakukan perintahnya dan menghukum mereka yang tidak melakukannya.
Partai politik, tentara, polisi, birokrat, surveyor, buzer semuanya menjadi bagian dari lingkaran Jokowi. Dengan berbagai imbalan dan dia harus melakukan apa yang harus dijalankan.
Politik Prabowo sangat tidak logis selama ini mengubah jati dirinya dengan memuji Jokowi sebagai presiden terbaik bangsa dan berusaha keras untuk menampilkan dirinya sebagai anak didik Jokowi.
Bahkan Prabowo merayu Jokowi, bahkan menjanjikan bahwa Jokowi dapat memilih menteri kabinet jika ia menang.
Ketika kesadaran Prabowo pulih kembali sebagai patriot TNI sejati bahwa kekuasaannya adalah semata untuk kepentingan rakyat dan sadar betapa bahayanya Indonesia dalam kendali oligarki.
Sadar kemenangannya dari suara rekayasa hasil pemilu yang brutal . Bahkan “Mietzner”, mengatakan Demokrasi Indonesia tidak akan membaik di bawah kepemimpinan Prabowo, namun juga tidak akan menjadi lebih buruk.
Dengan resikonya “apakah aliansinya dengan Jokowi akan bertahan lama? Apa yang akan dilakukan Jokowi? Akankah Prabowo menang dalam persaingan di antara mereka?
Pertengkaran dan pecah kongsi tidak akan bisa dihindari.
Faktor lain juga harus menjadi pengamatan kita bersama terkait umur saat ini sudah berusia 72 tahun dan masalah kesehatan Prabowo dan hasil keputusan MK.
Keadaan politik tiba tiba bisa berubah di Indonesia, melanda negara ini Jokowi jatuh dari kekuasaannya sebelum habis masa jabatannya Jokowi harus membayar mahal dan harus menerima resiko politik dan hukum yang akan menimpanya.