Oleh : Memet Hakim, Pengamat Sosial & Wanhat APIB
Anies sebelum dicalonkan dan sebelum ada partai pengusung, telah dihadang oleh rejim penguasa supaya auranya padam. Tetapi dengan penghadangan tersebut, justru aura yang muncul semakin terang dan kemilau. Saat ini banyak suara yang menyebut Anies pantas menjadi presiden RI, setelah sukses menjadi Gubernur RI.
Saat Nasdem mengusung Anies jadi bacapres, penghadangan semakin kuat bukan saja terhadap Anies tetapi juga terhadap Nasdem. Nasdem dan Anies menjadi sasaran tembak. Begitu juga saat partai Demokrat bergabung setidaknya sudah 3 x, pengurusnya akan dibajak, tetapi usaha tersebut gagal total. PKS yg bergabung terakhir, kabarnya sering dirayu juga untuk tidak mengusung Anies.
Persatuan 3 partai ini ternyata rapuh, artinya belum 1 tujuan. Demokrat akhirnya lepas karena harapannya tidak menjadi kenyataan. Itulah politik. Akhirnya masuk PKB bergabung, sehingga Anies berlayar bersama Cak Imin pendatang baru (AMIN).
Setelah resmi mendaftar ke KPU, hambatan dari rejim terus berjalan, bahkan saat kampanyepun seringkali lokasi pertemuan tiba2 dibatalkan. Cak Imin dicoba dihadang lewat KPK, setelah gagal menghadang Anies, tetapi gagal.
Memperbolehkan Gibran, walikota Solo anak Jokowi, merupakan produk hukum yang cacat moral. Sepertinya dipaksakan agar program dinasti berjalan dengan sendirinya. Kasus ini menjadi akar permasalahan kecurangan dalam pemilu yang benar-benar terstruktur, sistematis dan masif.
Setelah pencoblosan, penghadangan semakin brutal. Jumlah suara bisa diatur supaya kandidat presiden & wakil pilihan penguasa bisa menang.
Sejak surat suara yang sudah ditusuk (bolong), perhitungan yang salah sampai manipulasi jumlah suara terjadi dalam perhitungan untuk menenangkan anaknya Jokowi. Yang paling fatal adalah menggunakan server di LN dan membuat sistem yang sengaja untuk curang.
“Perbuatan curang dalam pemilu ini yang merupakan kejahatan luar biasa”, karena menyangkut nasib 273 juta penduduk Indonesia. Rasanya pantas mereka yang melakukannya dihukum mati.
Kejahatan pidana ini memang kelihatannya sudah direncanakan dengan baik, berlangsung sebelum pencoblosan, saat pencoblosan dan pasca pencoblosan. Komandan kecurangan ini jelas sekali Joko
Widodo yang masih menjabat presiden sampai saat ini, sesuai dengan pengakuannya sendiri.
Jika semula Nasdem dan PKB merupakan bagian dari rejim penguasa, sekarang mereka adalah bagian dari perubahan yang digagas oleh Anies. Jadi kedua partai tahu persis bagaimana cara bermain kotor. Sehingga rejim penguasa tidak terlalu bebas, sehingga sekarang banyak analus dan ahli IT bermunculan, untuk menjelaskan secara teknis bagaimana kecurangan iru terjadi.
Menurut para analis dan ahli IT Kecurangan dalam pemilu 2024 ini sama dengan kecurangan pada pemilu 2019, bedanya 2019 form C1 tidak lengkap dikumpulkan, sehingga tahun 2024 Prabowo dikalahkan oleh Jokowi. Saat ini form C1 jauh lebih lengkap sehingga kecurangan lebih mudah diungkap.
Anies memang dicalonkan ditengah hilangnya moral, sehingga rasa malupun harganya sangat mahal. Ini merupakan gambaran faktual betapa bejatnya moral rejim penguasa ini. Merampok suara, menyuap, korupsi menggunakan kekuasaan, ilmu pengetahuan untuk hal buruk seolah biasa saja.