Kekalahan Pilpres 2024 bukanlah Aib

Oleh: Ahmad Basri, Ketua K3PP Tubaba Alumny UMY 92

Dalam masyarakat yang masih cenderung feodal primitif kekalahan itu selalu dianggap sebuah aib. Untuk menutupi “aib“ mereka akan terus berupaya membangun narasi bahwa kecuranganlah yang mengakibatkan semua kekalahan terjadi. Faktor eksternal “kecurangan“ selalu menjadi kambing hitam.Bisa jadi ini merupakan bentuk tidak bisa melihat realitas yang ada.

Kata kecurangan menjadi kata yang ampuh untuk menutupi semua bentuk kekalahan atau kelemahan yang ada. Selama kekalahan dimaknai sebuah “aib“ akan terus menjadi alat pembenaran. Dalam kamus besar bahasa indonesia kata aib mengandung makna malu,cela,noda,salah atau keliru. Pemaknaan tersebut terus menjadi stigma ada pihak lain yang berlaku tidak adil, curang, culas.

Dalam situasi masyarakat budaya yang masih mengidentifikasi kekalahan adalah aib maka akan melahir sikap yang penuh dengan segala macam kecurigaan. Kesuksesan keberhasilan seseorang misalkan akan selalu dianggap merupakan bentuk dari tindakan yang kotor. Kesuksesan keberhasilan belum dimaknai sebuah proses dari kerja keras yang terus menerus dari waktu kewaktu.

Masih ada anggapan dan tumbuh di tengah masyarakat yang cenderung feodal primitif (budaya mitos) kesuksesan atau keberhasilan seseorang, selalu karna ada faktor gaib “ pesugihan “ bukan karna kemampuan personaliti yang dimiliki.kesuksesan keberhasilan tidak pernah dipahami sebuah bentuk dari nilai – nilai – nilai motivasi diri yang tumbuh dari berpikir yang positif. Selalu kesuksesan dan keberhasilan seseorang selalu dilihat dari cara berpikir negatif. Pola budaya masyarakat seperti ini akan sulit untuk maju dan berkembang. Kesuksesan dan Keberhasila orang lain menjadi penderitaan bathin dalam hidupnya.

Dalam panggung politik mudah sekali kita temukan narasi kecurangan dalam setiap perhelatan pemilu dimana kemenangan selalu identik dengan tuduhan adanya kecurangan. Tidaknya hanya dalam tingkatan yang lebih tinggi seperti pilpres sampai pada tingkatan yang paling rendahpun pemilihan kepala desa narasi kecurangan selalu muncul. Menjadi pembenaran piskologis sebuah bentuk kekalahan.

Paling terasa kita akui perhelatan hasil pemilu tuduhan berbagai macam stigma kecurangan seperti menjadi budaya ditengah masyarakat. Perang narasi kecurangan menjadi model sampai paling yang ekstrem menjadikan “ ayat suci “ sebagai peluru yang paling ampuh untuk membangun kebenaran apa yang dituduhkan. Padahal bisa jadi apa yang dituduhkan belum tentu sebuah kebenaran yang sesungguhnya.

Bisa jadi semua tuduhan “kecurangan” merupakan bentuk dusta yang sengaja dibuat. Di dalam Al Quran – Az Zumar : 60 jelas diterangkan “ pada hari kiamat kamu akan melihat orang – orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah di dalam nereka jahanam itu ada tempat bagi orang – orang yang menyombongkan diri “. Dalam hadist Nabi yang diriwayatkan oleh HR. Muslim “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia mempersiapkan tempatnya di dalam neraka “. Dari dua makna ini jelas apa yang dipesan dalam ayat suci dan hadist nabi berdusta adalah perbuatan yang sangat tercela.

Oleh karna itu setidaknya hasil pemilu 14 februari 2024 yang sudah berlalu menurut hasil quick count hitungan cepat lembaga survei, telah menempatkan paslon 02 unggul dari 01 dan 03 harus dimaknai sebagai proses politik yang biasa. Berbagai macam tuduhan politik kecurangan bukan lagi menjadi tradisi yang terus menerus dikembangan untuk mencari pembenaran. Jika tuduhan kecurangan berbasis data dan fakta didukung adanya saksi tentu sesuatu yang dihormati. Namun semua wadah atas ketidak puasaan “ kecurangan “ harus ditempatkan pada tempatnya, ada ruang yang tersedia legal formal untuk membuktikan itu semua.

Menjadi menarik apa yang dikemukakan oleh politikus PKS M Taufik Zoelkifli bahwa hasil quick count merupakan sebuah realitas yang harus kita terima dan pemilu sudah berakhir siapa pemenangnya sudah diketahui bersama. Apa yang ada quick count tidak akan berbeda jauh dengan hasil real count dari KPU. Dan mari kita semua kembali sebagai sebuah bangsa sebagai saudara ( kamis, 15/2/24 . suara nasional ). Inilah yang sesungguhnya kita harapkan sebagai contoh dari seorang politisi yang jarang kita temukan.

Terbaik adalah dari semua proses politik pilpres 2024 adalah lahirnya oposisi itu yang lebih penting untuk memperkuat kelembagaan di dalam parlemen. Oposisi menjadi alat pengkontrol pengimbang dari kekuasaan yang sedang berjalan. Dimana yang menang menjadi pemilik kebijakan dan yang kalah menjadi pengawas. Itulah sesungguhnya hakekat dari sistem demokrasi. Tradisi pilihan oposisi harus menjadi budaya politik

Jika hari ini narasi politik kekuasaan Presiden Jokowi dianggap “abuse of power“ cenderung menyimpang dari norma etik kekuasaan ini semua bentuk kesalahan kolektif dari semua partai politik yang ada. Mereka enggan menjadi oposisi berebut masuk dalam kabinet. Parlemen (DPR) menjadi lemah peran yang harusnya sebagai kontrol kekuasaan tidak dapat berjalan. Kita tunggu apakah godaan politik dari mereka yang kalah dalam pemilu masuk dalam kabinet atau sebaliknya mengibarkan bendera oposisi.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News