Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)
Aktivis Gema 77-78, Sukmadji Indro Cahyono berencana melaporkan lembaga-lembaga survei abal-abal ke Bareskrim atas pasal kebohongan publik. Menurut Sukmadji, lembaga-lembaga survei itu sudah keterlaluan dan membohongi publik. Mereka sangat pandai mengutak-atik hasil survey, padahal metodologinya tidak profesional, pengambilan sampelnya sangat tidak proporsional, tidak ada transparansi terutama dalam masalah pendanaan, dan mereka hanya merilis hasil sesuai pesanan. Ketika Jokowi risau dengan hasil elektabilitas di bawah 50%, dalam waktu dua hari kemudian semua lembaga survey langsung merilis hasil elektabilitas paslon O2 di atas 50 % bahkan ada yang membuat angka 64%.
Apakah mereka bisa dipidana ? Tentu saja bisa, karena mereka telah menyebarkan berita bohong atau hoax yang bisa berimplikasi pada keputusan politik bahkan hukum yang dapat menimbulkan chaos.
Dalam pasal 14 1946 : Peraturan Hukum Pidana :
“(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun”
“(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.”
Unsur-unsur kebohongan lembaga-lembaga survey abal-abal bisa ditinjau dari lima sisi :
Pertama, Niat memanipulasi suara rakyat
Para surveyor abal-abal diduga niatnya bukan untuk memberikan informasi secara benar kepada rakyat, tapi hanya untuk melayani keinginan sang pembayar, yaitu para oligarki taipan. Jadi rakyat memang sengaja dibohongi.
Kedua, Representasi responden yang sangat tidak mewakili rakyat
Para surveyor biasanya mengambil sampel hanya 1200 responden. Bagaimana mereka mampu menjelaskan ini ?
Para surveyor abal-abal tidak pernah terjun ke lapang secara real dengan kelayakan diferensiasi.
Jika Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru tahun 2023 mengacu pada hasil pendataan rentang tahun 2018-2022, terdapat 416 Kabupaten dan 98 Kota (total 514 kota dan kabupaten), jika tiap kota diambil 10 sampel saja, jumlah responden harus 5140 voter. Jika cuma 1200 artinya rata-rata perkota/kabupaten hanya 3 responden. Apa yang bisa dibaca dari 3 responden ?
Ketiga, Pengambilan sampling yang tidak random sempurna
Random sempurna harus bisa mewakili seluruh elemen dalama masyarakat : kaya-miskin, penduduk urban-kampung, generasi tua-milenial atau gen Z, terpelajar-tidak sekolah, agamis-nasionalis, bapak-bapak-emak-emak, ustadz/guru-santri/siswa, pendukung rezim-kaum oposisi, pns-honorer/swasta, pegawai-buruh/nelayan/petani, dll. Tanpa pengambilan sampel random sempurna, hasil survey tidak bisa dipercaya.
Keempat, Metodologinya yang tidak pernah dibuka ke publik
Jika menyimak paparan tempo.,com tentang metodologi para surveyor abal-abal ini, yaitu ada kuantitas penambahan prosentase bagi paslon yang didukung Jokowi. Walaupun ada pengambilan sampel dari tiga kategori : pendukung paslon, pendukung lawan, dan acak, semua ini hanya kamuflase saja. Mereka terus berilusi dan berhalusinasi kalau elektabilitas paslon 02 (harus) tertinggi, Paslon 03 kedua dan paslon 01 (harus) yang terendah, sampai mematok cuma 17%. Padahal di survey-survey independen, elektabilitas paslon 01 selalu di atas 60% (Polling live, ILC, Republika, Google Trends, Iwan Fals, dll). Dan fakta di lapangan di mana pun Anies kampanye, Anies selalu diserbu rakyat. Sedangkan kampanye paslon 02 selalu kosong dan sepi pengunjung. Bagaimana para surveyor mau menjelaskan ini selain harus berbohong dan memanipulasi data dan realita.
Kelima, Tidak ada transparansi penyandang dana
Surveyor independen harus menerima dana dari sumber yang tidak mengikat. Mengapa para surveyor bayaran tidak mau transparan soal sumber dana, karena penyandang dana memiliki keinginan agar paslonnya selalu dimenangkan, walaupun secara fakta dan realita elektabilitas paslon 02 cuma dapat satu atau dua digit.
Para surveyor telah berdusta dengan berkedok melaporkan hasil survey, padahal yang terjadi, seperti yang dikatakan Sukmadji, mereka cuma utak-atik di depan laptop. Bisa jadi kantor mereka cuma di depan laptop, alamat kantornya tidak tahu di mana. Mereka ini, menurut Anthony Budiawan, hanyalah lembaga-lembaga survey pelacur, yang kerjanya membohongi publik dengan penggiringan opini yang menyesatkan (dan rezim sudah mensetting nanti KPU akan mempercayai hasil survey pelacur ini).
Tahun 2019, ada 7 lembaga survey “pelacur” yang dipakai rezim Jokowi, dan di tahun 2024 ada indikasi mau berbohong lagi, karena mereka menarget paslon 02 harus menang 1 putaran (elektabilitas harus di atas 50%). Ketujuh lembaga survey “pelacur” adalah : LSI, LSI Deny JA, SMRC, Indikator, Indo Barometer, Charta Politika, dan Poltracking. Akhir-akhir ini Litbang Kompas pun sudah tidak bisa dipercaya karena ada intervensi penguasa.
Sudah saatnya para surveyor pelacur ini diseret ke ranah hukum atas pasal kebohongan publik. Jika hukum ditegakkan dengan adil, mereka pasti sudah harus masuk penjara.
Bandung, 22 Rajab 1445