Oleh Yarifai Mappeaty
Begitu di-endorse Jokowi, Prabowo tiba-tiba menjadi pemuncak survei menggeser Ganjar Pranowo sejak Juni 2023, dan tak tergantikan hingga Januari 2024. Apalagi setelah berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, nyaris semua Lembaga survei membuat elektabilitasnya menjadi tak tertandingi oleh kedua pesaingnya.
Tak berhenti di situ, usai mendaftar di KPU, kubu Prabowo – Gibran Rakabuming Raka (P-Raka) lantas menggaungkan isu Pilpres satu putaran. Sebulan menuju hari pencoblosan, elektabilitas P-Raka dibuat mendekati angka 50%. Malahan, meski dengan malu-malu, ada Lembaga survei sampai kebablasan mematok angka 52%.
Tetapi, bagi yang berpikir kritis, tingkat elektabilitas seperti itu dipahami tak lebih sebagai hasil rekayasa statistik belaka, alias bodong. Tujuannya, selain untuk memuluskan skenario satu putaran bekerja membangun opini, juga, kelak akan dijadikan alat justifikasi dan penguatan hasil perhitungan KPU yang memenangkan Prabowo – Gibran.
Hanya saja, isu Pilpres satu putaran itu menuai cibiran, sehingga opini yang berusaha dibangun, pun gagal. Bahkan Majalah Tempo sampai menyebutnya hanya angan-angan. Kegagalan itu tidak terlepas dari perlakuan rezim Jokowi yang tak adil terhadap Paslon lain. Dan, juga Jokowi sendiri selaku “king maker” P-Raka, belakangan ini makin memperlihatkan gelagat yang aneh-aneh.
Sebab, jika tingkat elektabilitas P-Raka sebesar itu, maka, hampir dapat dipastikan akan memenangkan Pilpres satu putaran. Lalu, untuk apa merecoki Paslon lain dengan cara-cara yang tak simpatik. Vidiotron Anies hasil kreasi anak-anak K-pop, misalnya, di-take down, seperti yang terjadi di Jakarta dan Bekasi?
Tidak hanya itu, izin acara “desak Anies” di Jogyakarta, tiba-tiba dicabut oleh pihak berwenang setempat. Bus-bus yang dipersiapkan untuk mengangkut massa pendukung AMIN dari berbagai daerah untuk menghadiri kampanye terakhir di Jakarta International Stadium (JIS), disabotase. Ternyata, perlakuan yang kurang lebih sama, juga dialami Ganjar – Mahfud.
Jika memang yakin menang dengan satu putaran, maka, apa urgensinya Jokowi mencoba rujuk dengan Megawati, Ketum PDIP? Kendati rumor itu kemudian dibantah oleh pihak istana, namun publik lebih percaya pada podcast “Bocor Alus” sebagai sumber pertama. Sebab podcast tersebut diasuh oleh wartawan Tempo, dinilai lebih memiliki integritas.
Lagi pula, bantahan itu baru dilakukan setelah rumor itu menyeruak ke ruang publik, dan setelah upaya rujuk itu sendiri dipastikan gagal, karena tidak ditanggapi oleh Megawati. Maklum, meski Megawati seorang ibu yang pemaaf, namun tidak mudah baginya memaafkan hal-hal yang berbau pengkhianatan.
Upaya rujuk yang gagal itu, tampaknya sangat mempengaruhi kondisi psikologis Jokowi. Gelagatnya makin bertambah aneh semenjak itu. Bayangkan, tanpa adanya suatu prakondisi yang relevan mendahului, tiba-tiba menyatakan bahwa presiden boleh berkampanye dan memihak kepada salah satu Paslon Capres – Cawapres. Pertanda apa ini?
Tak pelak, publik pun sontak dibuat tersentak karena hal itu merupakan jurus pamungkas yang terlarang bagi seorang kepala negara menggunakannya. Sebab dalam pemahaman publik, sebagai seorang kepala negara, Jokowi bukan bapaknya Gibran, tetapi bapaknya seluruh rakyat Indonesia, sehingga terlarang baginya untuk memihak.
Di benak publik, Jokowi mestinya juga memiliki pemahaman yang sama sehingga memiliki suatu kesadaran untuk tidak memihak. Sebab, jika itu dilakukan, risikonya terlalu besar. Keutuhan bangsa dan negara ini yang dengan susah payah kita rawat, menjadi taruhannya.
Tetapi Jokowi tetap bergeming, seolah abai pada risiko itu. Mungkin para pengamat benar bahwa memang Jokowi tengah panik, takala melihat perkembangan elektabilitas P-Raka yang sebenarnya masih jauh dari Pilpres satu putaran. Kepanikan itulah yang membuatnya tak lagi berprilaku selayaknya sebagai seorang kepala negara, tapi lebih sebagai kepala keluarga.
Teringat sebuah akun TikTok yang mengambil analogi permainan catur. Jika raja sudah sampai turun tangan dan bergerak kesana-kemari, pertanda situasi sudah sangat genting. Analogi itu kurang lebih menggambarkan situasi Jokowi saat ini.
Situasi itu terkonfirmasi pada setiap kegiatan kampanye P-Raka dalam sepuluh hari terakhir. Jumlah massa yang datang tak mencerminkan sebagai pemuncak survei dan pemilik elektabilitas tertinggi, di atas 50%. Sebab massa yang datang, semula diperkirakan membludak, tetapi ternyata tidak.
Tengok, misalnya, kegiatan Gebyar Gemoy Paslon 02 di DBL Arena Surabaya pada Ahad, 28/01/2024 lalu, dilaporkan sepi oleh Optika,id. Padahal, menurut hampir semua Lembaga survei, elektabilitas P-Raka di Jawa Timur disebut paling tinggi. Ini yang penulis sebut sebagai paradoks sang pemuncak survei.
Boleh jadi karena kondisi paradoks itu yang membuat Jokowi merasa frustrasi, sehingga dengan sangat terpaksa mengeluarkan jurus pamungkasnya untuk mendatangkan massa kampanye dalam jumlah besar, demi menambal tingkat elektabilitas P-Raka yang sebenarnya tidak tinggi-tinggi amat.
Sebab, pada saat kampanye itulah sebenarnya tingkat elektabilitas seorang kontestan diuji oleh jumlah massa yang datang. Tetapi massa yang dimaksud tentu saja bukan massa bayaran, bukan pula yang diimingi bagi-bagi sembako dan atau door prize.
Rupanya, kondisi paradoks itu juga dialami pasangan AMIN yang disebut oleh semua Lembaga survei memiliki tingkat elektabilitas hanya 20-an persen. Bedanya, kendati izin kampanyenya kerap dipersulit, namun massa yang datang selalu membludak.
Di dunia persilatan, seorang pendekar yang selalu menggunakan jurus-jurus pamungkas dalam menghadapi setiap lawannya, pertanda kalau ia sebenarnya lemah. Tak percaya? Tanya Kho Ping Hoo. [ym]
Makassar, 31 Januari 2024.