Oleh: Ketua K3PP – Tubaba /Alumni UMY
Capres 03 Ganjar Mahfud sepertinya tidak lagi menjadi diskursus yang menarik untuk diperbincangkan oleh publik dalam pemilu 2024. Ibarat bertanding tidak lagi diperhitungkan sebagai “juara” untuk bisa mengalahkan atau mengejar capres 02 Prabowo Gibran.
Hanya dengan 01 mungkin sedikit seimbang 03. Sesuai dengan catatan beberapa hasil lembaga survei. Grafik statistik 03 hasil lembagai survei mengalami trend sedikit penurunan sedangkan 01 sedikit mengalami kenaikan namun tidak signifikan untuk mendekati 02.
Kata kunci kemenangan semua calon dalam pilpres sudah banyak diulas dan dibahas bahwa, barometer ada dipulau jawa dengan mayoritas 65 persen jumlah penduduk indonesia. Waktu yang tersisah kurang 15 hari ini kedepan ( pemilu 14 Februari ) waktu yang sangat menentukan.
Daerah di luar jawa sesungguhnya hanyalah suplemen tambahan suara bagi semua capres namun bukan faktor yang menentukan. Tidak ada daerah diluar jawa yang menjadi kekuatan para capres untuk “dibina” sebagai sumber kekuatan dan kemenangan dalam pemilu.
Klaupun para capres berkunjung ke daerah di luar jawa hanya sebatas ” lip servise ” untuk menunjukan keindonesian / bingkai NKRI. Namun realitas politik perebutan suara pemilu tidak lain hanya di pulau jawa. Inilah mengapa memahami prilaku politik masyarakat indonesia secara umum, sample penelitian dilakukan di jawa dan sudah lama ini dilakukan.
Pendekatan research ilmiah dengan contoh sample penelitian, telah dilakukan dan dimulai oleh peneliti ” Asing – AS ” pada tahun 1952 – 1954. Jauh sebelum lahirnya lembaga survei seperti sekarang ini dalam memahami prilaku politik.Peneliti ini bernama Clifford Geert seorang antropologi dengan judul penelitian Religion of Jawa.
Masyarakat jawa digolongkan menjadi tiga karakteristik sosial yakni Abangan, Santri dan Priyayi. Abangan, Santri, Priyayi untuk mengindentifikasi atau rujukan, sejauh mana tingkat keagamaan seseorang dalam memahami agamanya dikaitakan dengan sikap pilihan politik.Fokus penelitian pada pola berpikir agama, struktur ekonomi masyarakat, khususnya pemaham terhadap keislaman.
Abangan, mengidentifikasi seseorang pemahaman keagamaan dengan pandangan nilai – nilai tradisional yang masih sangat kuat. Adat istiadat masih dominan menjadi pegangan. Dalam basis sosial ekonomi mereka yang digolongkan ” abangan ” adalah yang tingkat kehidupannya masih jauh dari sejahtera. Istilah sekarang mereka adalah ” wong cilik “. Inilah yang mengidetifikasikan pada PDIP dengan slogan partai wong cilik.
Santri, golongan masyarakat yang kuat dalam memegang tali nilai – nilai agama sebagai pandangan hidup. Ini sebaliknya berbalik dari golongan abangan. Santri dalam varian sosial keaganaan dapat diwakilkan oleh NU – Muhammadiyah. Lahirlah partai – partai politik berbasis keagamaan ( sebagai contoh. PKS,PKB, PPP, UMMAT)
Priyayi, golongan ini perpaduann moderat dari sikap santri dan abangan dalam prilaku kehidupan sosial. Semua unsur jiwa santri dan abangan menjadi satu napas pemahaman. Secara ekonomi sosial intelektual kaum terdidik atau bangsawan tuan tanah. Berpendidikan diatas rata rata dari abangan dan santri. Mereka yang menjadi ” priyayi ” senang menjadi ” abdi negara ” sebagai simbol status ekonomi sosial. Kecenderungan arah partai politik berjiwa Nasionalisme ( Gerindra, Nasdem, Demokrat, PAN ).
Dalam praktek polarisasi ideologis politik abangan, santri, priyayi sulit disatukan satu sama lainnya. Saling curiga mencurigai saling ketidak percayaan lebih mendominasi hingga sampai pada realitas politik kepartaian hingga sampai hari ini masih tumbuh dan berkembang. Walaupun strategi penyatuan ideologis polarisasi abangan, santri, priyayi dalam politik kepartaian disatukan kadang menemukan banyak kendala.
Pilpres dalam pemilu ke pemilu selalu menjadi penyatuan ( abangan, santri, priyayi ) menjadi strategi politik kemenangan diantara partai politik. Penyatuan tersebut bukan karna persamaan ideologis berpikir namun hanya sebatas ” simbolik ” untuk meraih kepentingan politik sesaat. Persilangan ideologis abangan, santri, priyayi selalu menjadi unsur bagaimana meraih kemenangan politik.
Namun dalam pemilu pilpres 2024 ada yang berbeda. Ganjar mewakili tradisi abangan disandingkan dengan Mahfud dari santri ( santri tradisional – NU ), Prabowo mewakili tradisi priyayi disandingkan dengan Gibran mewakili abangan. Anies mewakili islam moderat ( Muhammadiyah ) disandingkan dengan Muhaimin ( islam tradisional – NU ). Paling berbeda dan keluar dari pemetaan tentu capres 01 Anies – Muhaimin mewakili wajah santri penuh.
Diprediksi mengatas namakan simbol ” santri ” untuk menarik dukungan politik, dari kelompok abangan, priyayi untuk bergabung, sesuatu yang sepertinya berat apa yang diinginkan oleh capres 01 Anies – Muhaimin. Sebab kelompok santri ( Muhammadiyah – NU ) ada diposisi capres O2 dan 03. Inilah mengapa pasangan Prabowo – Gibran jika masuk putaran kedua pilpres melawan Anies – Muhaimin tetap akan menang.
Mayoritas pendukung Ganjar – Mahfud ( abangan – santri tradisional NU ) lebih dekat tingkat emosional piskologis ideologis dengan Prabowo – Gibran priyayi – abangan. Faktor kekecewaan PDIP terhadap Jokowi Gibran dalam putaran kedua capres tidak begitu pengaruh signifikan dan cenderung diabaikan.
Ditambah dengan masih kuatnya kelompok abangan dengan pandangan kebudayaan jawa tradisional ( baca : Joyoboyo ) bahwa, presiden Indonesia akan selalu diwakili oleh nama ada hurup O baik diawal ditengah maupun diakhir. Tanpa hurup O sulit untuk meraih kekepimpinan kekuasaan tertingggi di Indonesia. Mungkinkah Anies Muhaimin terpilih pilpres 2024. Jika menggunakan pendekatan abangan, santri, priyayi sebagai mana buku analisa Clifford Geert sangat sulit untuk menang.