Mantan Ketua KPK Firli Bahuri secara normatif sudah bisa segera ditangkap dan ditahan. Aparat hukum dalam penegakkan hukum (law enforcement), semestinya tidak diskriminatif.
Demikian dikatakan pakar hukum Juju Purwantoro dalam pernyataan kepada redaksi www.suaranasional.com, Senin (25/12/2023).
Lain halnya jika status tersangka menyasar pihak oposisi, kata Juju seringkali tanpa terkecuali walaupun kepada ulama ataupun aktifis muslim, maka biasanya langsung saja ditahan dengan alasan normatif ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih.
Kata Juju, sebagai subyek hukum (mantan pejabat) Firli juga seharusnya bisa dikenakan ancaman sanksi pemberatan hukum, sesuai Pasal 52 KUHP yang rumusan: “Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan dan sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiga”.
“Dasar pemberat pidana tersebut antara lain: melanggar suatu kewajiban khusus, kekuasaan, kesempatan dan sarana karena jabatannya,” paparnya.
Selain itu, Juju juga mengatakan, alasan dari Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana menyatakan bahwa istilah ‘berhenti’ mengenai pimpinan KPK tidak tertera dalam Pasal 32 UU KPK, terlalu mengada-ada.
“Patut diduga Firli juga berusaha menghindari sidang Etik Dewan Pengawas (Dewas) KPK, yang putusannya akan dibacakan pada Rabu, 27 Desember 2023. Status tersangka Firli sejak 22/11/23, sudah diperiksa 2 kali, secara normatif haruslah segera ditahan Polda Metro Jaya. Faktanya Firli sampai kini masih bebas, sehingga terkesan kebal hukum, dan ada diskriminasi hukum,” pungkas Juju.