Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Associate Expert FOZ)
Dunia zakat bukan berada di ruang hampa. Selalu ada perubahan walau kadang tak terlihat nyata. Perubahan ini termasuk dalam hal perilaku sejumlah pihak yang berada di lingkup dunia zakat. Di antaranya perilaku muzaki dalam berdonasi maupun ketika memilih organisasi pengelola zakat (OPZ). Ini penting untuk diketahui oleh OPZ agar mereka mampu mengimbangi tren yang terjadi sehingga bisa terus menjadi bagian dari dinamika, termasuk dalam hal meningkatkan penghimpunan zakat serta menjaga hubungan baik dengan para muzaki.
Di kurun waktu yang disebut era globalisasi seperti saat ini, ternyata teknologi informasi telah demikian tumbuh pesat bahkan menjadi suatu kebutuhan untuk dikonsumsi masyarakat. Kondisi ini tiada lain berkenaan dengan pentingnya informasi demi mempermudah segala macam kebutuhan hidup.
Dalam rilis hasil survei yang dilakukan Hootsuite dan We Are Social per Januari 2019, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pengguna internet sebanyak 150 juta. Dengan pertumbuhan pengguna internet sebesar 56% tiap tahunnya, ada implikasi berikutnya terkait perilaku hidup masyarakat Indonesia ketika berbelanja. Mereka mulai terbiasa dengan berbelanja secara online atau daring. Maraknya perilaku berbelanja dan bertransak daring berpengaruh pula pada muzaki.
Pada awalnya, para muzaki memanfaatkan layanan digital untuk mencari informasi. Mereka mengikuti dan membandingkan inovasi-inovasi OPZ yang pada ujungnya bermuara pada keinginan adan kemudahan dalam melakukan berbagai macam pembayaran digital.Mereka berharap, sistem dan mekanisme zakat, infaq, sedekah, dan bahkan pembelian hewan kurban oleh OPZ semudah transaksi dan layanan di dunia perbankan.
Dengan semakin kuatnya kebiasa masyarakat menggunakan transaksi digital, mau tidak mau OPZ-OPZ juga mesti berbenah. Hasilnya, dengan responsif mereka menang tren di masyarakat yang juga sebagiannya adalah muzaki.
Sejumlah OPZ mulai mendesain dan membuat platform kemudahan zakat digital. Intinya, OPZ ingin menjadi pihak yang juga bisa diterima dan dipercaya sebagai penyedia jasa untuk memudahkan masyarakat dalam berzakat, infak, dan sedekah. Tuntutan pada OPZ semakin tidak mudah manakala muncul ekspektasi bahwa kemudahan tak boleh hanya berhenti dari sisi pengumpulan atau penghimpu zakat. Tuntutan ini ingin lebih luas lagi, yakni adanya kemud dalam memilih program dan/atau mustahik yang dibantu, serta lokasi atau wilayah sasaran yang ingin dibantu.
Adaptasi tren tersebut bukannya tanpa biaya. Bagi mayoritas OPZ, biaya tersebut dianggap mahal; mahal dari sisi finansial, serta mahal dari sisi pembelajaran dan teknologi. Walau pada awalnya berat, langkah ini harus dilakukan untuk menangkap peluang terjadinya pergeseran perilaku dan dinamika masyarakat dalam melakukan transaksi.