Oleh Yarifai Mappeaty
Maluku Utara yang berjuluk provinsi seribu pulau itu, meliputi seluruh Kepulauan Halmahera yang berbentuk huru “k”. Terletak di sebelah Timur Manado dan di Barat Sorong. Di sana, Moloku Kie Raha pernah eksis sebagai kesultanan Islam di Nusantara di abad ke-15. Terdiri atas Tarnate, Tidore, Bacan, dan Jailolo.
Masyarakat Maluku Utara berlatar belakang etnis dan bahasa yang sangat beragam. Memiliki, tidak kurang dari 28 suku dan bahasa. Secara etnolinguistik, mereka teridentifikasi berasal dari rumpun Autronesia dan non-Autronesia. Rumpun Autronesia mendiami Halmahera Bagian Tengah dan Timur. Sedangkan non-Autronesia menyebar dari Utara ke Selatan.
Tetapi secara sosial-politik, ada lima etnis dinilai paling berpengaruh. Yaitu, Ternate, Tidore, Tobelo, Galela, dan Makian. Kelima etnis itulah yang mewarnai konstelasi perpolitikan mutakhir di Maluku Utara, sejak terbentuk pada 24 tahun silam, sebagai hasil pemekaran dari Provinsi Maluku yang ber-ibu kota di Ambon.
Menurut Kemendagri, 2021, di Maluku Utara, 74,5% Muslim. Protestan, 24,9%. Selainnya, kurang dari 1%. Muslim mayoritas di Halmahera bagian Barat, Selatan, Tengah dan Timur, serta sejumlah pulau, mulai Ternate, Tidore, Bacan, di sebalah Barat, hingga Obi, Sula dan Taliabu di Selatan. Sedangkan Protestan dominan di Utara Halmahera, populasinya lebih besar dari pada Muslim.
Pada Pilpres 2019 di Maluku Utara, Pasangan Prabowo-Sandi berhasil mengungguli Jokowi-Ma’ruf, hingga nyaris 11%. Secara geopolitik, Prabowo-Sandi memenangkan Wilayah Selatan. Sedangkan Jokowi-Ma’ruf memenangkan Wilayah Utara, masing-masing memenangkan 5 kabupaten/kota.
Tetapi, pembelahan sosial yang terjadi, tampaknya, lebih pada faktor agama. Data menunjukkan bahwa Prabowo-Sandi menang di Kota Ternate, Tidore, Halmahera Selatan, Sula, dan Taliabu, yang mayoritas Muslim dengan sangat meyakinkan.
Jokowi-Ma’ruf memenangkan dua kabupaten yang mayoritas Protestan, Halmahera Utara dan Halmahera Barat. Mengungguli Prabowo-Sandi di tiga kabupaten yang mayoritas muslim, Halmahera Tengah, Halmahera Timur, dan Morotai.
Dapat disimpulkan bahwa mayoritas Muslim memilih Prabowo-Sandi ketimbang Jokowi-Ma’ruf. Dan hampir dapat dipastikan bahwa pemilih non-Muslim seluruhnya, memilih Jokowi-Ma’ruf. Jika pun ada yang memilih Prabowo-Sandi, jumlahnya, sangat-sangat sedikit.
Paradoks. Sebab, jika ukurannya adalah faktor religiusitas, maka pasangan Jokowi-Ma’ruf yang dipandang lebih “islam” ketimbang Prabowo-Sandi, mestinya lebih dipilih oleh pemilih muslim karena faktor KH. Ma’ruf Amin yang tokoh NU dan mantan Ketua MUI, dari pada Prabowo yang abangan.
Hal itu menunjukkan bahwa faktor religiusitas (islam) yang melekat pada pasangan Capres-Cawapres kala itu, tidak menjadi ukuran bagi masyarakat Muslim Maluku Utara. Tetapi lebih melihat supporting group yang bekerja di belakang masing-masing pasangan Capres-Cawapres.
Semua tahu bahwa praktis tokoh-tokoh, baik Islam maupun non-Islam, tidak di belakang Prabowo-Sandi. Sejauh yang kita ketahui, hanya disupport oleh PA 212. Tetapi jangan salah, meski tak sebesar NU, tapi boleh jadi PA 212 dinilai oleh Muslim Maluku Utara lebih gigih memperjuangkan Islam, sehingga condong menjatuhkan pilihannya pada Prabowo-Sandi.
Sebenarnya, sebagai incumbent, tidak ada alasan bagi Jokwi-Ma’ruf kalah. Sebab prasyarat menang, semuanya dimiliki. Terutama kekuasaan dan uang. Seluruh infrastruktur negara, sipil dan militer, masih dalam genggamannya selaku presiden. Belum lagi bantuan sosial PKH dan BLT yang digelontorkan melalui mesin birokrasi, tak juga membuat Jokowi-Ma’ruf menang.
Demikian pula dengan Parpol pengusung, seperti PDIP, Golkar, Nasdem, dan PKB. Di sini, lagi-lagi terjadi paradoks. Sebab Parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf tersebut, di Maluku Utara, adalah Parpol pemenang Pemilu ketika itu. Artinya, terjadi kondisi yang asimetris. Pengusung menang, sedangkan yang diusung kalah.
Tetapi, akankah Prabowo yang berpasangan dengan Gibran anak Jokowi kali ini, kembali mendulang suara di Maluku Utara pada Pilpres 2024? Nyaris semua sumber penulis di sana memastikannya, tidak. Sebab, “Prabowo yang sekarang, bukan Prabowo yang dulu. Sekalipun Masyarakat Maluku Utara diguyur PKH dan BLT,” kata mereka.
Seperti di daerah lainnya, masyarakat di Maluku Utara, tampaknya, juga punya cara yang sama menghukum seorang pemimpin yang dianggap telah meninggalkannya. [ym]