Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Pengajar Mazawa UMJ & Associate Expert FOZ)
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan mengikuti pelatihan auditor internal di LSP Baznas. Pelatihan atau training ini walau hanya dua hari, namun memiliki kedalaman yang luar biasa, termasuk makna yang strategis bagi perbaikan dan pengawalan tercapainya tujuan pengelola zakat, yaitu mendorong mustahik sejahtera dan tercapainya kemakmuran bersama dengan ZIS dan wakaf sebagai instrumen pendorongnya.
Di tengah terus meningkatnya dukungan masyarakat terhadap pengelolaan zqqakat dan wakaf, sudah semestinya lembaga pengelola zakat dan wakaf pun memastikan lembaga-nya bisa bekerja dengan baik, profesional dan memiliki kemampuan untuk terus memperbaiki diri sekaligus meningkatkan kualitas layanan-nya.
Salah satu fungsi untuk mengawal agar lembaga pengelola zakat dan wakaf on the track, sesuai rencana dan tujuan yang dimilikinya, maka disinilah fungsi audit internal menjadi penting adanya. Jadi audit ini bukan dalam posisi mencari-cari kesalahan, menemukan penyimpangan atau lebih ekstrem, menelanjangi kebijakan atau keputusan yang diambil para pimpinan.
Audit internal tidak seseram itu. Dan tak juga perlu dramatisasi dalam menghadapi prosesnya. Tentu saja sebagaimana sebuah sistem, ia memerlukan timbal bali atau Resiprokal. Pihak yang diaudit (auditee) dan pihak yang mengaudit (auditor) juga keduanya harus baik, profesional dan bersepakat untuk memajukan lembaga dan mengurangi kemungkinan adanya kekeliruan atau ketidaktepatan proses yang dilakukan.
Tulisan singkat ini bukan notulensi acara, namun sekedar pengingat sekaligus refleksi atas situasi sebenarnya di lapangan. Dimana kadang proses audit internal, kadang tak berjalan mulus seindah rencana di atas kertas. Ada sejumlah kendala, juga tantangan yang ada dalam prosesnya.
Audit Internal apakah Beban Tambahan?
Audit internal kadang disalahpahami ajang cari-cari kesalahan. Dampaknya terjadi dua hal. Pertama, menjadi “sumber ketakutan” bagi sejumlah pihak di dalam lembaga. Takut ada temuan, yang mengindikasikan sebuah kesalahan. Takut adanya penampakan ketidakberhasilan, serta beragam ketakutan yang sebenarnya tak perlu. Kedua, menjadi “musuh bersama”. Ini terjadi karena sejumlah pihak yang diaudit, merasa tidak nyaman, dianggap menggangu pekerjaan utama mereka atau malah dianggap beban tambahan dari aktivitas yang ada.
Pandangan-pandangan tadi, yang cenderung negatif, bisa jadi muncul karena dilatarbelakangi informasi-informasi yang muncul sebelumnya. Dimana kadang berkembang bahwa proses audit internal ini dilakukan dengan adanya indikasi kasus tertentu yang terjadi.
Audit kemudian menjadi “seram” karena berbayang kasus, berujung vonis dan berdampak pada nasib akhir yang bisa saja tragis. Dipecat, atau bahkan berujung pidana dan masuk penjara. Apalagi kadang beredar pula bahwa auditor rata-rata berwajah bengis, tak ramah, dan cenderung menyudutkan. Isu ini makin bertambah “heboh” manakala masuk pula bumbu-bumbu lainnya yang makin membuat proses audit internal dan para auditornya makin menakutkan.
Dampaknya tak sederhana ternyata. Pihak-pihak yang ketakutan kadang mencoba “merayu” sejumlah auditor untuk “berdamai” bila ada temuan. Apalagi temuan-nya serius, dan berkategori mayor. Para auditee kadang bila tak cukup mempan dengan cara tadi, mereka malah kemudian mengancam dengan berbagai hal. Entah itu mengancam langsung sang auditor, atau bahkan keluarga sang auditor.
Sebaliknya, mereka yang tak menyukai audit internal dan para auditornya, kadang melakukan tindakan yang berkategori “Disobedient“, yakni tindakan-tindakan yang dalam kamus bahasa inggris bermakna : tidak tunduk, bandel, melawan, binal dan rewel. Kesemua tindakan tadi mengerucut pada kesimpulan bahwa mereka melakukan “pembangkangan”.
Hal-hal tadi, dalam konteks audit internal di dunia filantropi Islam tentu saja nuansa-nya berbeda. Dalam dunia zakat, wakaf dan aktivitas sosial lainnya, audit internal adalah bagian integral dari perbaikan dan komitmen lembaga untuk terus berubah lebih baik.
Audit internal dalam dunia filantropi Islam idealnya bukan berperan semata-mata sebagai watchdog, namun ia justru bisa berkedudukan sebagai konsultan. Audit internal juga bisa berperan sebagai katalis sekaligus berfungsi sebagai quality assurance. Dengan begitu, diharapkan organisasi pengelola zakat dan wakaf bisa berjalan secara lebih efektif, efisien dan ekonomis.
Idealnya Audit Internal bagi OPZ
Audit internal pada dasarnya seperti pisau. Ia punya dua sisi tajam yang bisa melukai pemegangnya, atau ia bisa pula membantu pemiliknya, baik untuk memotong bahan-bahan makanan, atau keperluan lainnya. Bila tak tepat melakukan-nya, audit internal bisa merusak sistem di dalam organisasi. Namun bila tepat penggunaan-nya, audit internal akan mampu mengawal dan bahkan mengakselerasi kemajuan sebuah lembaga filantropi Islam.
Nah, dalam proses audit di sebuah OPZ. Terkadang permasalahan yang krusial dihadapi oleh OPZ secara umum adalah kuatnya lembaga eksternal auditor, sementara internal auditornya lemah. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya penguasaan aspek-aspek audit internal oleh SDM di sebuah OPZ.
Persoalan lain yang timbul disebabkan adanya kegamangan para penanggungjawab anggaran dalam melaksanakan aktivitas organisasi karena terbatasnya aturan, norma, SOP atau panduan teknis lainnya. Sejumlah pihak kadang ragu, terutama ketika pedoman teknis tidak cukup jelas dan rinci dalam mengelola aktivitas organisasi. Banyak yang takut, nantinya bisa berujung temuan oleh auditor ketika audit nanti. Apalagi dalam teknis audit eksternal, kadang soal norma-norma pengawasan dan kode etik, sering juga dikemukakan setelah soal SOP atau aturan yang ada tak ditemukan masalah.
Jadi, kalau mau fair, setiap OPZ yang akan memasukan aspek audit internal-nya secara serius dan sungguh-sungguh, maka ia wajib memastikan 3 hal : Pertama, SDM audit internalnya sejak awal disiapkan dengan baik; Kedua, ada pelatihan yang cukup memadai bagi sdm amil yang akan menjadi audit internal; dan Ketiga, disiapkan sejak awal aturan, norma, SOP, pedoman dan berbagai perangkat kelembagaan yang akan menjadi dasar dan pedoman aktivitas organisasi. Semakin lengkap tata kelola organisasinya, akan semakin memudahkan proses audit internal dilakukan dan berfungsi untuk mendorong perbaikan lembaga.
Kini, audit internal mulai menjadi kebutuhan lembaga filantropi Islam. Terutama lembaga-lembaga yang cukup besar capaian penghimpunan-nya dan telah lama bergerak mengelola dana ZIS dan wakaf-nya. Audit internal saat ini memang belum menjadi mandatory, dan lebih bersifat inisiatif guna memenuhi kebutuhan pengembangan lembaga. Pada perkembangan selanjutnya, proses audit internal ini berkembang sesuai dengan kebutuhan masing-masing organisasi pengelola ZIS dan wakaf. Di beberapa OPZ bahkan sudah membentuk tim audit internal sendiri untuk melakukan tugas-tugas pokok dan fungsinya.
Ke depan, proses audit internal di lembaga zakat dan filantropi Islam lainnya tidak hanya untuk melakukan pemeriksaan dari sisi manajemen dan keuangan saja, tapi audit internal juga dituntut untuk dapat berperan sebagai consultant yang memberikan rekomendasi dan solusi guna membantu lembaga-lembaga filantropi Islam dalam proses operasional-nya agar bisa lebih fokus pada perbaikan menuju efisiensi dan efektivitas sumber daya.
Peran tadi, kiranya akan semakin sempurna jika proses audit internal diharapkan juga dapat berperan sebagai catalyst dalam kegiatan operasional OPZ, seperti memberikan inspirasi, membimbing, dan mengarahkan manajemen serta seluruh lini di lembaga-lembaga yang ada untuk melakukan berbagai perbaikan dan peningkatan kelembagaan. Peran auditor internal sebagai katalis ini berkaitan dengan quality assurance, sehingga auditor internal diharapkan dapat membimbing manajemen dalam mengenali risiko-risiko yang mengancam pencapaian tujuan organisasi.
Quality assurance juga bertujuan untuk meyakinkan bahwa proses bisnis yang dijalankan telah menghasilkan layanan yang dapat memenuhi kebutuhan muzaki dan mustahik. Dalam peran katalis, auditor internal bertindak sebagai fasilitator dan agent of change. Dengan situasi ini, peran auditor internal sebagai katalis dapat bersifat jangka panjang, karena fokus katalis adalah nilai jangka panjang ( long term values) dari organisasi pengelola zakat, terutama berkaitan dengan tujuan organisasi yang dapat memenuhi kepuasan pelanggan (customer satisfaction) yakni muzaki dan mustahik dan pihak-pihak lain atau para stekholders lainnya, seperti regulator, media massa serta masyarakat secara umum.
#Ditulis di Ruang Meeting Canaro, Lantai 3 Hotel Balairung, Matraman Jakarta, 5-6 Oktober 2023