By, Syafril Sjofyan *)
Edan ! Raja Tega! Jokowi dan anak-anaknya Gibran dan Kaesang berkhianat terhadap partai yang membesarkannya. Secara tidak bermoral alias “brutal” mengabaikan institusi Partai yang telah menjadikan diri mereka besar. Sebelumnya mereka bukan siapa-siapa.
Andil PDIP membesarkan mereka sejak Jokowi dijadikan walikota Solo, lalu Gubernur DKI Jakarta, kemudian memilih Jokowi menjadi capres pada dua kali Pilpres.
Begitu juga Gibran tiga tahun lalu diberi privileg (Golden Buzzer) menjadi walikota Solo, dengan membatalkan calon lain yang sudah disiapkan Mega sebelumnya.
PDIP memang memberikan kewenangan penuh kepada ketuanya Megawati hak tunggal untuk menentukan capres dan calon kepala daerah.
Kini secara “seragam” Jokowi maupun Gibran menyatakan secara gamblang “keterpilihan” mereka karena rakyat. Terlalu!!. Kacang lupa dengan kulitnya. Jika tidak ada partai yang mengajukan gimana rakyat akan memilih. Hal yang biasa pindah partai. Memang!. Banyak kasus pindah partai.
Lain halnya kasus Jokowi dan Gibran jelas berbeda. Ini maslah Etika berkaitan dengan moral. Megawati berkorban dirinya pada pilpres 2014. Mengalah memberikan kepada Jokowi. Pilpres 2024 Megawati “mengorbankan” anaknya Puan Maharani. Tidak menjadi cawapres.
Akan halnya Jokowi malah “ngotot” menjadikan putranya menjadi Cawapres. Karena tidak memungkinkan melalui PDIP. Tidak bermalu mempergunakan “pengaruhnya” sebagai Presiden, terhadap partai-partai. Bukan rahasia lagi elit partai berpikir pragmatis. Sebagian tersandera.. Begitu juga “mempengaruhi” lembaga Yudikatif MK, sehingga terjadi skandal Mahkamah Keluarga.
Gugatan ke MK meloloskan Gibran menjadi cawpres. Penggugat tidak punya legal standing terhadap pasal UU yang diuji. Tetap disidangan. UU Pemilu merupakan Open Legal Policy, adalah kewenangan DPR/ Presiden untuk merubah. Bukan kewenangan MK merubah prasa UU tersebut.
Disidangkan oleh pamannya Gibran sang Ketua MK Anwar Usman. Jelas melanggar UU Kehakiman, yang melarang keras Hakim mempunyai hubungan kekariban. Lalu Permohonan gugatan dikabulkan dibacakan langsung dan diketok palu oleh pamannya Gibran untuk kepentingan keponakan nya Gibran, putranya Presiden Jokowi.
Dengan dissenting opinion 5-4. 4 Hakim menolak. 5 Hakim menerima dengan catatan pada pengalaman jadi Kepala Daerah. 3 Hakim memberi catatan dengan pengalaman jadi Gubernur dan Walkot/Bupati. 2 Hakim lagi hanya boleh pengalaman Gubernur saja. Sesungguhnya keputusan aneh tersebut cacat hukum, tidak sah dan melanggar konstitusi.
Makamah Konstitusi yang tadinya begitu bermartabat. Jatuh anjlog menghina diri institusi menjadi olok-olok masyarakat. Banyak sebutan. Malu kalau diuraikan kepanjangan huruf K. Ulah satu keluarga.
Akibatnya lainnya. Sekarang para Hakim “terhormat” tersebut digugat masyarakat melalui Majelis Etik MK. Jika hakim dan sang paman Gibran, dikenakan sanksi etik oleh MK-MK, setiap saat Keputusan MK tersebut bisa batal demi hukum. Akan timbul masalah besar serta potensi memicu konflik politik.
PDIP yang sudah “dikhianati” sudah sewajarnya memproses pemakzulan Jokowi. Oleh para tokoh melalui Petisi 100 tuntutan pemakzulan telah disampaikan terlebih dulu melalui DPD RI. Melalui 10 point fakta pelanggaran Jokowi terhadap konstitusi. Adanya skandal Mahkamah Keluarga menjadi 11 point. Nah… Jika dibiarkan Jokowi tetap berkuasa. Tidak ada jaminan Pilpres akan berlangsung jurdil.
Demi sayang anak. cawe-cawe akan semakin gencar. Agar putranya menang menkadi wapres. Jokowi bisa/ akan “mempengaruhi” semua lembaga dibawah kepresidenan. Untuk dikerahkan untuk “memenangkan” anaknya.
Apalagi jika terjadi sengketa pilpres dengan penyelesaian Mahkamah Keluarga. Sudah ketebak. Keputusan tidak bermalu terulang lagi. Memang ada pernyataan Jokowi akan netral. Siapa yang akan percaya. Biasanya perkataan Jokowi harus dimaknai sebaliknya.
Secara hitungan politik pemkazulan Jokowi akan berjalan mulus di DPR. Karena yang “menolak” Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN hanya 34%. Jika mau menyelamatkan demokrasi. Menyelamatkan bangsa dari politik dinasti. Lekas saja.
Bandung, 23 Oktober 2023
*) Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen APP-TNI