Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
Gibran ponakannya Paman Usman, resmi diusung Golkar sebagai kandidat Cawapres untuk mendampingi Prabowo. Nasib Gibran, tak jauh beda dengan ponakan Paman Usman lainnya, Kaesang.
Kaesang, hanya dalam waktu 3 hari menjadi anggota PSI, langsung melejit menjadi Ketua Umumnya. Gibran, kebalikannya. Belum di Golkar-kan, sudah di Cawapres-kan.
Kemungkinan, Gibran baru akan dikuning-kan, setelah resmi di deklarasikan menjadi Cawapres Prabowo, baik karena mengundurkan diri dari PDIP atau dipecat dari PDIP. Bagi penulis, jika PDIP punya harga diri, semestinya mendahului memecat Gibran ketimbang ditinggal karena Gibran mundur dan memilih Golkar.
Golkar sendiri, adalah partai yang sangat pragmatis. Namun, pragmatisme Golkar era now, sangat menjijikan.
Pada era Soeharto, Golkar masih punya harga diri karena tunduk pada rezim yang masih dalam kendali Golkar. Hari ini, Golkar menundukan diri hanya pada dinasti yang baru seumur jagung dideklarasikan.
Golkar sadar, tak punya kuasa untuk melawan, sehingga harus cari bungker kekuasaan. Sambil menunggu, kemarahan rakyat memuncak, terjadi pergeseran bandul politik, barulah Golkar berkoar ‘suara Golkar suara rakyat’, keluar dan meninggalkan cengkeraman dinasti Jokowi.
Hari ini, Golkar seperti bebek lumpuh dihadapan Jokowi. Selain karena motif kekuasaan, Golkar menikmati menjadi keset Jokowi untuk mencari perlindungan politik. Kasus korupsi Airlangga, tidak bisa aman jika Golkar mengambil opsi oposan terhadap Jokowi.
Problemnya bukan karena Jokowi tidak nyapres lagi. Tapi sampai saat ini, secara de facto dan de jure, Jokowi-lah penguasanya.
Megawati pun bisa dipecundangi, apalagi Golkar. Orang yang berkasus seperti Airlangga, di Golkar bejibun. Sama seperti kader partai lainnya.
Karakter Golkar itu harus selalu berada di lingkaran kekuasaan, siapapun penguasanya. Jargon kekaryaan Golkar, tak akan tumbuh di iklim oposan.
Karena itu, era oposan dibawah Aburizal Bakri, tak langgeng. Hanya sebentar saja Golkar diluar dari kekuasaan, namun akhirnya segera menyadari karakter pragmatisme, dan kembali di lingkaran kekuasaan melalui tangan Setya Novanto.
Golkar adalah partai pragmatis, bahkan sangat pragmatis. Jadi, tak usah heran kenapa Golkar mengusung Gibran, mengesampingkan Airlangga, juga ratusan kader Golkar mumpuni lainnya, untuk dijadikan cawapres yang diusung Golkar. [].