Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Associate Expert FOZ)
Ada beragam alasan orang bergabung menjadi amil zakat. Alasan ini mulai dari yang serius, seperti ingin membantu banyak orang kurang mampu melalui lembaga zakat, meneruskan idealisme sebelumnya ketika muda, ataupun menjadi bagian dari pekerjaan di tempat yang mulia dan penuh keberkahan.
Ada pula alasan ringan dan kurang berbobot, seperti daripada bengong menunggu pekerjaan yang lebih bagus, sebagai tempat transit atau batu pijakan sebelum mendapat pekerjaan yang lebih serius, ataupun sekadar mengisi kekosongan ketimbang menganggur tak jelas.
Alasan-alasan di atas boleh boleh saja, manusiawi juga. Toh semuanya berpulang ke personal masing-masing sesuai kondisinya. Gerakan zakat sendiri memang dinamis. Tak bisa seseorang yang sudah lama jadi amil lalu secara otomatis pantas mendakwa diri sebagai pihak yang paling tahu banyak dan paling menguasai semua persoalan gerakan zakat.
Saking dinamis, ketika menghadapi masalah yang ada, kadang para pemain lama di gerakan zakat sama pusingnya dengan mereka yang baru bergabung. Dengan demikian, jangan lekas percaya kalau ada amil lama di lembaga zakat secara otomatis lebih mumpuni memecahkan berbagai masalah. Para amil lama yang tak berkembang keterampilan dan pengetahuannya serta tak memiliki spirit untuk terus-menerus belajar, bisa jadi tersalip para pendatang di dunia amil yang belum lama bergabung.
Menjadi amil sejati yang berkualitas memang tak ditentukan berapa lama mereka bergabung. Benar kata Thomas Alva Edison, “Kualitas diri Anda akan terlihat dari apa yang Anda kerjakan.” Artinya, bagi siapa pun yang ada di dunia zakat saat ini, mereka tidak perlu mengatakan kepada semua orang seperti apakah dirinya. Tanpa memberi tahu orang lain, kualitas diri para amil sudah tercermin dari apa yang mereka kerjakan.
Dengan mudah, masyarakat tahu siapa dan bagaimana kita bekerja dari cara-cara kita menyelesaikan tugas, menanggapi keadaan, mengomentari atau mengkritik sesuatu. Dengan demikian, persepsi diri kita di tengah amil lainnya kadang tak perlu diteriakkan agar orang tahu siapa kita sebenarnya.
Sebagai sebuah profesi, amil zakat relatif baru di dunia kerja profesional. Banyak orang yang kadang salah sangka bahwa sebagai amil ini mudah dan pasti bisa bertahan lama. Kini orang-orang harus sadar bahwa untuk bisa diterima bekerja di lembaga zakat mereka harus pula bersiap melewati proses seleksi yang panjang dan tak mudah. Tak bisa lagi masuk menjadi bagian amil lalu santai-santai karena pasti diterima.
Suatu ketika ada satu lowongan kerja sebagai amil di cabang salah satu lembaga zakat tingkat nasional. Posisi untuk satu orang saja tapi ternyata pelamar yang memasukkan berkas ada 361 orang! Sepertiganya lulusan S-2 berbagai perguruan tinggi yang ada di Indonesia, bahkan beberapa orang merupakan lulusan S-2 luar negeri. Ironis memang, ini pertanda sulitnya peluang kerja atau memang amil kini menjadi profesi incaran milenial?