Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)
Sangat mudah memang mengatakan orang lain berkhianat. Tapi kalau dirinya dibilang pengkhianat bakal sakit hati. Itu salah satu tanda orang pendendam. Padahal tuduhan pengkhianat tidak akan mengurangi kemuliaan seseorang di sisi Allah, jika kita memang orang beriman dan bertakwa.
Sakit hati dan marah itu wajar dan sangat manusiawi. Islam memaklumi jika ada orang yang marah dan sakit hati. Tapi Islam hanya membolehkan kemarahan itu paling lama tiga hari. Jika lebih dari tiga hari sudah masuk kedalam pendendam dan itu dilarang di dalam Islam.
Kadang perlakuan buruk orang lain kepada kita, biasanya sebagai “karma” atas perlakuan buruk kita kepada orang lain. Jika ada orang yang berkhianat kepada kita, biasanya karena sikap khianat kita kepada orang lain.
Istilah khianat dalam politik memang biasa, seolah jadi bumbu. Belum tentu juga itu sebuah kejahatan, apalagi ketika kita saat ini berada di dalam rezim yang penuh intrik, kelicikan dan kezaliman. Dalam situasi seperti itu “Pengkhianatan” kadang terpaksa harus dilakukan, sebagai sebuah siasat menghadapi kelicikan rezim.
Menanggapi kasus yang menimpa AHY, bisakah Anies dan Surya Paloh disebut sebsgai pengkhianat. Secara sepintas iya, tapi secara lebih luas dan menurut kaidah Islam tentu bukan. Ini alasannya
Pertama, yang disampaikan Anies itu keinginan dan permintaan dirinya, tapi belum disepakati seluruh partai, terutama Surya Paloh “pemegang saham utama” di koalisi Perubahan*
Benar bahwa Anies sudah berkali-kali meminta AHY untuk jadi Wapresnya, namun keputusan itu tidak bisa diputuskan sendiri. Di sini Nasdem belum bersepakat karena pertimbangan elektabilitas untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kedua, Kesepakatan tiga partai soal cawapres diserahkan ke Anies, tiba-tiba Anies dengan pertimbangan di point pertama “batal” menjadikan AHY Cawapres, walaupun kecewa dan sakit hati, tetap harus “sami’naa wa atha’naa bukan sami’naa wa ‘ashoinaa”
Jika memang AHY dan mau taat Anies, apa pun keputusan Anies harus diterima. Pertanyaannya : Kenapa Anies beralih memilih Cak Imin : 1. Demokrat seolah memaksakan AHY harus jadi cawapres; 2. Demokrat sudah mengancam akan mengambil opsi lain jika dalam satu pekan belum dideklarasikan. Bagi Nasdem sangat fatal jika Demokrat benar-benar keluar koalisi sebelum ada partai lain yany gabung; 3. Surya Paloh sedang mencari cawapres yang bisa mendongkrak suara nahdhiyyin di Jawa Tengah dan Jawa Timur, karena jika AHY dipaksakan cawapres ada kemungkinan kalah; 4. Keputusan mengambil Cak Imin sebagai wapres, selain bisa didukung kaum nahdiyyin Jateng dan Jatim, juga suara PKB tahun 2019 cukup besar 9.69%
Ketiga, Yang diperjuangkan Anies dan Surya Paloh itu bukan demi pribadi, tapi demi rakyat dan negara, sedangkan yang dikeluhkan Demokrat itu jabatan AHY.
Seusai deklarasi capres-cawapres di Surabaya, malamnya Anies kirim pesan singkat agar relawan tetap solid karena Anies tidak bergeser dari perjuangannya, tetap ingin mensejahterakan rakyat Indonesia. Sedang Demokrat malah sibuk memaksakan AHY.
Keempat, Secara etika memanh harus dikomunikasikan. Tapi situasinya sangat singkat, sehingga hari Selasa malam ada pembicaraan SP dengan Cak Imin, baru hari Rabunya Anies mengutus Sudirman Said untuk membuat jadwal pertemuan Anies dengan Demokrat (bukan untuk mengklarifikasi seperti yang dituduhkan Demokrat), tapi Demokrat keburu pintu marah dan sudah ditutup rapat untuk bertemu Anies, padahal Anies mau klarifikasi tentang segala yang telah terjadi. Jadi salah Anies di mana ? Jika saja Demokrat bisa bertemu Anies, semuanya bisa dijelaskan secara kronologinya.
Kelima, Secara Islam Anies bukan berkhianat, karena belum menerima amanat secara resmi mencawapreskan AHY.
Khianat adalah melanggar amanat yang telah diberikan. Anies belum menerima amanat, itu baru rencana dan keinginan Anies mencawapreskan AHY, tapi belum diketok palu. Demokrat harus mencabut tuduhan pengkhianat, karena jika tidak dicabut akan dituntut di akhirat dengan menanggung dosa besar.
Jangan lupa, soal khianat mengkhianati ini sering dilakukan para pemimpin kita, termasuk SBY, Prabowo, Megawati, dan Jokowi.
Pertama, di tahun 2003 SBY dianggap berkhianat oleh Megawati, bahkan Megawati sampai sekarang masih memendam dendam kepada SBY.
Kedua, di tahun 2009 SBY juga dianggap mengkhianati Hidayat Nur Wahid karena tiba-tiba mengganti HNW dengan Boediono. Tapi SBY tetap lempeng saja dan HNW juga tidak sakit hati. Bahkan mungkin itu sebuah berkah, gak perlu uring-uringan apalagi menuduh pengkhianat dan pengecut, hanya untuk sebuah ambisi pribadi. Bukankah dari sisi Anies dan Surya Paloh sudah memberikan klarifikasi ?
Ketiga, Prabowo juga merasa “dikhianati” oleh Jokowi, Megawati, Anies, dan terakhir oleh Muhaimin. Tapi tidak heboh.
Keempat, Prabowo sendiri telah mengkhianati perjuangan para ulama, umat Islam, dan pendukung setianya. Padahal Prabowo telah berjanji akan timbul dan tenggelam bersama rakyat. Tapi faktanya Prabowo tetap timbul sedangkan pendukungnya dibiarkan tenggelam.
Kelima, Jokowi dikhianati Megawati*
Jokowi sudah mempersiapkan Ganjar sebagai capres selanjutnya. Sebagian relawan Jokowi sudah dialihkan ke Ganjar, bahkan sudah dikondisikan sedemikian rupa tinggal menunggu endorsment secara resmi. Tapi dengan mengabaikan Jokowi begitu saja, Ganjar diambil alih oleh Megawati. Heboh kah ? Tidak, biasa saja.
Keenam, Megawati dikhianati Jokowi
Begitu Ganjar sudah dalam genggaman PDIP, Jokowi langsung mengalihkan dukungannya ke Prabowo, bahkan seluruh partai koalisi Pemerintah digiring untuk mendukung Prabowo. Padahal Jokowi adalah kader dan petugas partai PDIP. Tentu saja ini membuat berang Megawati yang dianggap Jokowi telah berkhianat karena telah tidak tunduk kepada fungsinya sebagai petugas partai.
Nah, siapa yang mudah menuduh “berkhianat” malah dirinya yang mendahului melakukannya. Oleh karena itu, santuy aja gak usah gede ambek, kata orang Sunda : pamali!
Pengkhianatan yang sesungguhnya dan terbesar adalah pengkhianatan Jokowi terhadap amanat, sumpah jabatan, dan seluruh rakyat Indonesia
Kita akan saksikan adzab yang Allah timpakan kepada penguasa zalim dan khianat.
Bandung, 19 Shafar 1445