by M Rizal Fadillah
Telur harus pecah dari tidak satupun Presiden yang setelah lengsernya dapat dipenjara. Jokowi yang berwajah kalem tanpa dosa dan dipuji akan kesederhanaannya adalah figur Presiden yang dua periode berkuasa meninggalkan prestasi hitam. Luka pada anak bangsa.
Dulu Soekarno dan Soeharto pun banyak bercak hitam, namun jasa keduanya baik saat kemerdekaan maupun penumpasan PKI telah tercatat dan berujung pada “pemaafan” rakyat. Upaya proses hukum tidak berhasil hingga keduanya wafat.
Jokowi tentu berbeda, sejak awal kepatutan untuk menjadi Presiden saja sudah dipertanyakan. Ditambah indikasi kuat kecurangan kemenangan di periode kedua yang membuat posisinya di depan publik semakin terpuruk. Dengan kelemahan memimpin dan dosa-dosa politik yang dilakukannya, maka penjara menjadi tempat istirahat yang pas bagi Jokowi pasca lepas dari kekuasaan.
Ada enam hal yang di antaranya menjadi alasan untuk itu, yakni :
Pertama, selaku Presiden melakukan kriminal pembiaran. Jokowi membiarkan tewasnya 894 petugas Pemilu 2019. Tanpa ada perintah pengusutan sama sekali. Alasan “kelelahan” adalah janggal untuk korban yang sedemikian banyak. Padahal Pemilu telah dilakukan berulang-ulang. “Crime by ommision” layak diarahkan kepada Jokowi.
Kedua, melakukan pengkhianatan negara atas kebijakan melakukan kerjasama berlebihan dengan Partai Komunis China maupun Pemerintah RRC. Melanggar asas politik luar negeri bebas aktif. Demikian juga mengubah negara demokrasi menjadi oligarki. Konglomerat yang melakukan penjajahan ekonomi dan politik.
Ketiga, menerbitkan Perppu yang membebaskan penggunaan dana negara untuk keperluan Covid 19 tanpa bisa diusut secara hukum perdata, pidana maupun tata usaha negara. Ini membuka peluang korupsi di masa pandemi. Kejahatan “extra ordinary” rezim seperti ini harus dipertanggungjawabkan melalui proses hukum.
Keempat, diduga kuat melakukan pembunuhan politik atas tewasnya 6 pengawal HRS. Membiarkan dan menjadi penanggungjawab proses peradilan sesat (rechterlijke dwaling) atas aparat, pembunuhan 9 pengunjuk rasa depan Bawaslu serta terabaikan 135 korban Kanjuruhan. Lumuran darah Jokowi.
Kelima, KKN yang potensial untuk diusut. Aliran dana ke Istana diduga kuat akan terbongkar. Indikasi dari mulai banyak Menteri korupsi, ada dana TPPU 349 Trilyun, kasus Gibran-Kaesang, KA cepat mangkrak, food estate yang berantakan hingga 1.750 Trilyun dana alutsista yang tidak jelas.
Keenam, kejahatan ideologi dengan merekayasa pengampunan dan rehabilitasi aktivis dan keluarga PKI melalui Kepres No. 17 tahun 2022, Inpres No. 2 tahun 2023 dan Kepres No.4 tahun 2023. Penyelesaian Non Judisial HAM Berat untuk menyantuni aktivis dan keluarga PKI merupakan penyiasatan rezim Jokowi.
Tentu lebih dari enam hal yang dapat diinventarisasi untuk menjebloskan Jokowi ke penjara. Ada ijazah palsu dan peminggiran aspek keagamaan termasuk terlalu banyak bohong. Ujaran bohong Presiden di samping cacat moral juga merupakan perbuatan kriminal.
Jokowi berpolitik hanya untuk menguatkan lingkaran dalam dengan memerangi atau melemahkan lawan-lawan politik. Partisipasi dibangun dengan sandera atau dikte-dikte. Politik kepura-puraan menjadi jalan untuk upaya melanggengkan kekuasaan.
Mao Zedong pernah berkata :
“Politic is war without bloodshed while war is politics with bloodshed” –Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah.
Lebih parah, doktrin Mao Zedong lain :
Every communist must grasp the truth “political power growth out of the barrel of a gun”—Setiap komunis harus meyakini kebenaran “kekuatan politik itu tumbuh dari laras senjata”.
Rezim Jokowi membolehkan keturunan PKI menjadi anggota TNI. Panglima TNI saat itu Jenderal Andika menegur bawahan yang melarang atau menghalangi keturunan PKI untuk menjadi anggota TNI.
Soekarno dahulu membela dan melindungi PKI. Kini Jokowi melindungi dan menyantuni mantan aktivis dan keturunan PKI.
Tanpa waspada akan bahaya dari “ideological influence” – keterpengaruhan ideologi.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 31 Agustus 2023