Proyek patung Soekarno di Bandung dikhawatirkan adanya kultus individu terhadap mantan orang nomor satu di Indonesia itu.
“Proyek patungisasi Soekarno disamping dapat mengarah pada “kultus individu” dan “keberhalaan” juga dikhawatirkan mengedukasi pengkhidmatan pada kedikatoran “Fir’aunisme” dan “Leninisme”,” kata pemerhati Kebangsaan M Rizal Fadhillah kepada redaksi www.suaranasional.com, Rabu (16/8/2023).
Kata Rizal, patungisasi Soekarno di Indonesia tentu bukan dimaksudkan untuk membuat “tuhan” nasionalisme, akan tetapi pendidikan yang baik untuk mengajarkan nasionalisme itu bukan semata dengan visualisasi patung-patung raksasa. Bukan pencerdasan namanya, malahan bisa pembodohan.
“Masa lalu warna kejahiliyahan (kebodohan) sebelum Islam diwarnai oleh banyaknya patung-patung. Dan berhala-berhala itu oleh Nabi Muhammad SAW diruntuhkan. Lalu ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa dibangun dan dikembangkan,” ungkapnya.
Kata Rizal, pembangunan patung Soekarno tersebut ternyata memiliki multi permasalahan baik keterlibatan wakil rakyat, konsistensi pada aturan, penggunaan lahan, sosialisasi, aspek budaya bahkan bersinggungan dengan keyakinan keagamaan. Sebutannya “kultus” dan “keberhalaan”.
Di tengah gonjang-ganjing rencana pembangunan patung Soekarno di Taman Saparua yang mengejutkan warga, kini rakyat Jawa Barat dikejutkan lagi dengan berita bahwa di Perkebunan Walini Kecamatan Cikalong Wetan Kabupaten Bandung Barat akan dibangun patung Soekarno denggan tinggi 100 meter.
“Patung yang berada di kawasan seluas 1.270 hektar tersebut berlokasi di eks proyek Transit Oriented Development (TOD) Kereta Cepat Jakarta Bandung. Dengan nilai investasi sebesar 10 (sepuluh) trilyun rupiah. Ini namanya proyek patung raksasa berkamuflase obyek wisata. Konon kini pembuatannya masih dalam tahap perizinan,” ungkapnya.
Rupanya proyek patung Soekarno semakin menggila dan luput dari perhatian publik. Mengapa patung dan mengapa Soekarno adalah pertanyaan mendasar bagi rakyat Jawa Barat yang daerahnya “diinvasi” oleh patung Soekarno. Pemerintah Jawa Barat maupun Pemerintah Daerah setempat harus menjelaskan dan bertanggung jawab atas kecenderungan “kultus” dan “keberhalaan” ini.
“Fir’aun yang diktator digambarkan dengan patung-patungnya. Beragam pose Fir’aun ada setengah badan, lengkap berdiri, duduk maupun hanya kepalanya. Uniknya di lokasi wisata “Water Park” di kota Banjar ada dua patung Fir’aun. Tentu saja ditolak keberadaannya oleh banyak pihak. Patung duplikat raja Mesir itu tak pantas untuk dipamerkan menjadi bagian dari obyek wisata,” pungkasnya.