by Faizal Assegaf (kritikus)
Jelang Pilpres 2024 dinamika politik makin krusial. Desakan menuntut Jokowi mundur dan dipenjarakan muncul di forum diskusi, medsos hingga berbagai aksi demonstran.
Tidak hanya Jokowi, tapi anak, mantu, ipar dan istri menuai sorotan serius. Perlawanan rakyat dipicu oleh rasa ketidakadilan atas praktek kekuasaan yang semena-mena.
Geliat tipu muslihat Jokowi tak lagi manjur untuk membohongi rakyat. Terlalu banyak kejahatan yang diproduksi dan makin meresahkan. Nasib Jokowi di ujung tanduk.
Jokowi terpaksa berakrobat. Putar otak agar aman dan selamat, tidak dikejar-kejar oleh rakyat. Tentang ijazah palsu, aneka korupsi yang menumpuk dan perampokan kekayaan alam.
Muncul modus licik, cawe-cawe usung Capres boneka disiapkan. Dengan cara itu, seolah Jokowi yakin kelak dilindungi oleh penguasa berikutnya. Justru arogansi tersebut bikin rakyat tambah marah.
Tak kalah norak, kedua putera Jokowi sok perkasa dan mabok lezatnya kekuasaan. Mereka pikir jabatan bapaknya tanpa batas dan menjadi warisan nenek moyangnya.
Semua pertunjukan kesombongan itu berakumulasi dan memantik perlawanan rakyat. Sebaliknya, Jokowi asyik berpesta, berdiri menantang arus gerakan perubahan yang menuntut keadilan.
Jokowi lupa, waktu semakin dekat untuk mengusirnya dari Istana. Jutaan rakyat intensif berkonsolidasi, menunggunya turun dari kekuasaan dengan berbagai tuntutan.
Bahkan sebagian besar elemen pro perubahan lebih agresif menyuarakan: Turunkan Jokowi, seret dia ke penjara. Tak usah menunggu pemilu dan siapapun yang akan berkuasa.
Sangat mengerikan. Akibat praktek kekuasaan yang jahat dan zalim, telah menyulut kesadaran kolektif rakyat. Kemarahan rakyat pada Jokowi, jauh lebih mendidih dari situasi krusial 1965 dan 1998. Gawat!