Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)
Makar Allah sedang berjalan untuk memuluskan Anies maju di Pilpres 2024 dan tumbangnya capres-capres proxy Jokowi.
Pernyataan aktivis 98 dan kritikus Faizal Assegaf dalam sebuah talk show di TV One baru-baru ini, dia menyatakan bahwa Jokowi sebagai seorang Presiden tidak boleh cawe-cawe mendukung salah satu kandidat capres, karena dia telah digaji oleh rakyat. Sedangkan Jokowi sebagai pribadi adalah milik (petugas partai) PDIP, oleh karena itu harusnya Prabowo tidak “minta restu Jokowi” karena sebagai bagian dari PDIP seharusnya Jokowi mendukung Ganjar, bukan Prabowo.
Entah pernyataan itu ada kaitannya dengan sikap PDIP akhir-akhir ini atau tidak, tapi faktanya PDIP saat ini mulai terang-terangan bukan saja mengkritik, tapi sudah berani menyerang Prabowo.
Padahal, selama ini Prabowo sangat dekat dengan Megawati bahkan pernah berpasangan sebagai cawapres Megawati. Tapi, menghadapi Pilpres 2024, suasana politik mulai memanas.
Paling tidak ada 4 statemen PDIP yang bernada “menyerang” Prabowo :
Pertama, pernyataan Butet Kartaredjasa yang menyindir capres yang menculik aktivis 98.
Capres yang dimaksud pastilah Prabowo, walaupun Butet juga menyerang Anies dengan kata-kata “pandir”.
Kedua, pernyataan Agum Gumelar, bahwa Prabowo adalah prajurit yang “dipecat” oleh DKP.
“Masa prajurit yang dipecat bisa menjadi Presiden ?” tanya Agum.
Ketiga, pernyataan Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning untuk tidak memilih capres yang berlumuran darah.
Yang dimaksud pastilah Prabowo.
Keempat, Ungkapan Sekjen PDIP Hasto bahwa presiden 2024 bukan yang pernah menculik dan nempel Jokowi terus kaya perangko.
Tentu yang dimaksud adalah Prabowo. Bahkan Prabowo disebut tidak jantan
Mengapa PDIP mulai menyerang Prabowo ?
Pertama, Perebutan pengaruh Jokowi
Banyak baliho Prabowo bersama Jokowi, sama halnya banyak baligho Ganjar bersama Jokowi. Bagi Jokowi memang baik Ganjar maupun Prabowo diharapkan sebagai penerus Jokowi. Tapi bagi PDIP dianggap “menyerobot” kader PDIP, karena Jokowi adalah ‘petugas’ partai PDIP.
Kedua, elektabilitas Prabowo naik, Ganjar semakin turun
Penurunan elektabilitas Ganjar di seluruh Indonesia terus menurun, berbeda dengan Prabowo yang ada peningkatan, terutama dari Projo dan Jokowi Mania. Hal ini sangat menggelisahkan PDIP, sehingga dicarilah kambing hitamnya. Dianggapnya Prabowolah penyebabnya, padahal hal itu datangnya dari pribadi Ganjar sendiri selain karena zero prestasi juga Ganjar mewariskan banyak masalah di Jawa Tengah dan kebiasaan nonton bokep yang dibangga-banggakan.
Ketiga, Benarkah ini tanda retaknya hubungan Prabowo dan Megawati ?
Selama bertahun-tahun Prabowo selalu bersahabat dengan Megawati, bahkan pernah jadi cawapres Megawati tahun 2009. Namun seiring panasnya persaingan politik keduanya, terutama setelah Prabowo tidak jadi mencawapreskan Puan, bahkan terus nempel Jokowi yang menjadikan Jokowi menjauhi Ganjar, tentu sangat menyakitkan PDIP, karena Ganjar yang tadinya akan menggantikan Jokowi karena didukung oleh pendukung setia Jokowi dan PDIP, tapi setelah diambil alih oleh Mega, justru Ganjar “nyungseb”. Akhirnya Prabowolah yang disalahkan.
Keempat, faktor Anies effect
PDIP makin gelisah dengan eksodusnya pendukung PDIP yang beralih mendukung Anies. Oleh sebab itu bersama dengan rezim Jokowi, PDIP berusaha untuk memecah koalisi perubahan agar Anies tidak jadi nyapres. Namun begitu usahanya gagal semua, maka kekesalannya ditujukan ke Prabowo, lagi-lagi karena elektabilitas Ganjar yang merosot gara-gara dukungan Jokowi terhadap Ganjar tidak power full.
Apapun perseteruan mereka berdua, ini bagian dari skenario Allah dan yang diuntungkan adalah Anies, karena dengan saling cakar-cakarannya pihak mereka berdua, telah membuat para pendukung kedua capres makin bingung sehingga akhirnya malah berbalik mendukung Anies ,yang ternyata sesuai dengan pilihan hati nurari dan tuntutan bagi perubahan negeri ini.
Semakin seru perselisihan mereka, semakin besar dukungan rakyat kepada Anies Baswedan. Sampai akhirnya Anieslah yang tampil sebagai pemenang di tahun 2024.
Semoga menjadi kenyataan. Aamiin
Bandung, 12 Muharram 1445