Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)
“Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu” ( Franklin D. Roosevelt )
Teater kehidupan berbangsa dan bernegara Republik ini selalu berganti episode dengan judul yang nyaris tak-berubah. Pemainnya itu itu saja, para badut, dan bandit politik yang berakrobat dengan ongkos dari para bandar politik, sementara stakeholder pelaksana sebagai jongos politik.
Harapan perubahan negara kembali normal, rakyat hidup tenang, adanya rasa keadilan, proses pembangunan dan negara yang stabil menuju cita cita tujuan negara, selalu berakhir dengan kepiluan baru yang lebih memilukan.
Pemilu hanya sebagai legitimate para elit aristokrat meraih jabatan politik, dalam proses politik penuh rekayasa jauh dari esensi yang sesungguhnya mewujudkan perwakilan kedaulatan rakyat.
Nasib pilu dan memilukan hasil arsitektur UU Pemilu di atas UUD 2002 terus membawa bencana demi bencana. Kedaulatan tidak lagi di tangan rakyat, tapi di tangan daulat Ketua Partai Politik. Pemilu hanya merekrut para dealers, not leaders yang membawa kepiluan berkepanjangan
Terkait dengan rencana pemilihan presiden ( Pilpres) tahun 2024, ternyata juga menyisakan masalah tersendiri. Munculnya kegalauan seorang presiden Jokowi ketika harus menerima kenyataan yang sulit , saat akan mengakhiri masa jabatannya, muncul tiga capres belum bisa menjamin rasa aman bagi dirinya .
Pertama : Capres Ganjar Pranowo dalam kendali Ibu Megawati, berpotensi merepotkan dirinya dan kroni kroninya yang bersebrangan politiknya dengan Megawati.
Kedua : Capres Prabowo Subianto, sampai saat ini belum bisa diterima dan dipercayai secara penuh sebagai presiden boneka oleh taipan oligarki.
Ketiga : Capres Anis Baswedan, sangat jelas berpotensi mengancam dirinya secara langsung.
Informasi yang muncul sekenario lama yang tidak pernah padam menguat kembali, diduga menyongsong SU MPR 15 – 16 Agustus mendatang, Jokowi dengan kroni kroninya akan mengerahkan masa didatangkan ke Jakarta kepung MPR untuk menekan dan memaksa MPR mengeluarkan Tap MPR perpanjangan masa jabatannya.
Telah bocor informasi ( perlu chek re chek info ) dari 271 pejabat sementara Gubernur/; Bupati dan Walikota ditarget harus bisa mengerahkan 500 – 1000 orang . Segera gelontorkan dana taktis politik untuk Kepala Desa / Lurah untuk kepentingan yang sama dengan target pengiriman masa yang akan ditentukan lebih lanjut.
Dan potensi kekuatan lainnya yang dibutuhkan untuk mengirimkan masa bayaran ke Jakarta. Rekayasa ini penuh resiko dan tidak mudah di wujudkan, tetapi apabila bisa dipaksakan menjadi kenyataan, segala kemungkinan resiko politik terburuk akan terjadi.
“Kemarahan rakyat mulai menggeliat meminta Jokowi dimakzulkan segera turun, lebih keras turun atau diturunkan oleh rakyat. Realitas politiknya bisa berubah dan berbeda dengan kenyataan, yang terjadi justru perpanjangan jabatan presiden”.
Perpanjangan masa jabatan melalui lobi lobi tawar menawar lahirnya dekrit presiden dengan perpanjangan masa jabatan – masih eksis sebagai opsi politik lain dengan resikonya masing masing .
Rekayasa menunda Pilpres masih hidup menjadi sebuah skenario untuk memperpanjang jabatan presiden.