Disampaikan Oleh Yusuf Blegur
Biarlah oligarki dan rezim tirani mengambil segalanya dari NKRI. Ketika tak ada lagi yang tersisa, kecuali lahir batin yang menghidupi spiritualitas. Rakyat masih punya harapan perubahan, walau harus mencuri kebenaran.
Modernitas terlanjur angkuh dan sombong memamerkan kemolekannya. Apa yang dulu tak pernah dipikirkan, kini mewujud dihampir setiap mata memandang. Apa yang dulu tak mungkin dan sulit dilakukan, kini memaksa akal dan perasaan untuk menghadirkannya, menjadi akrab dalam banyak keseharian. Apa yang dulu penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, kini membuat gairah dan hasrat dipenuhi kesenangan, terasa seperti ada kepuasan di dalamnya.
Kebutuhan ragawi begitu mudah terpenuhi dan dimanjakan oleh kekuatan gagasan yang dieksploitasi modal dan industri berbungkus kehidupan modern.
Kemajuan beragam teknologi dalam pelbagai rupa telah menyihir manusia menjadi subyek sekaligus obyek peradaban yang sesuai dengan keinginan. Modernitas juga lihai menunjukan kedigdayaannya dengan menumpang pada perubahan zaman. Menawarkan yang tiada menjadi ada, yang rumit menjadi sederhana dan yang menderita menjadi bahagia.
Ada yang berkuasa, ada yang terpinggirkan. Ada yang agung menyandang status sosial, bergelimang harta dan jabatan bak menikmati surga dunia. Namun tidak sedikit juga yang terpapas dan tertindas seperti menghirup udara panas neraka dunia. Ada yang gigih mengambil peran kepemimpinan, ada yang apatis dan terbiasa mengekor. Ada yang terlahir dan bertekad mati sebagai pahlawan. Ada yang menghidupi jiwanya dengan penghianatan dan menjadi pecinta kejahatan.
Modenitas memang memberi banyak pilihan hidup. Bertahan dengan mengikuti keyakinan dan prinsip para leluhur beserta warisan tradisinya. Atau terpaksa mengikuti arus besar penemuan dan penciptaan baru pada pikiran, perilaku, kebiasaan dan gaya hidup. Jika mampu mengikuti dan menikmati pesatnya irama kemajuan, bisa jadi disebut lebih moderat, rasional dan memiliki peradaban yang tinggi. Bagi yang mempertahankan nilai-nilai lama dan acuh pada era baru dan kompleksitasnya, harus menerima stigma sebagai kelompok tradisional dan ortodoks. Agak lebih halus mungkin dianggap dari kalangan kultural atau konvensional.
Kedua instrumen pemahaman praktis kemanusiaan itu, seiring waktu harus saling berhadapan. Tentunya membawa pengikut-pengikut setianya, baik unsur material maupun spiritualnya. Termasuk orientasi, narasi, dan alat-alat teknis pelengkap lainnya. Bisa berupa pejabat, senjata, buzzer dan influencer. Kedua identifikasi “human resources” tersebut dipastikan bertahan pada argumentasi dan justifikasi masing-masing. Terkadang bisa seiring sejalan menerima perbedaan, terkadang tak luput harus menghadapi polarisasi, pertentangan dan atau bahkan konflik berkepanjangan.
Pemangku kepentingan publik kerap abai terhadap tugas, peran dan tanggungjawab dalam memenuhi pemikik mandat. Amanat rakyat untuk menjalankan tugas mulia oleh rezim pemerintahan sering diselewengkan. Bukan sekedar distorsi, pemerintah tak sungkan-sungkan dzolim terhadap rakyatnya sendiri atas nama demokrasi, konstitusi dan negara. Kebenaran dan kejahatan bercampur aduk, pelayanan dan pelecehan terhadap rakyat silih berganti. Banyak keburukan melekat pada rezim, terutama saat kebenaran dan kejahatan menjadi otoritas penguasa. Hanya pemerintah yang bisa menrntukan sispa yang salah dan siapa yang benar, meskipun wajah dan tubuh pemerintahan berlumur kejahatan.
Semakin berjaraknya antara kesadaran ideal spiritual dengan kesadaran rasional materil, membuat semakin tipisnya perbedaan antara nilai-nilai dan pragmatisme. Secara historis dan empiris, banyak kasus yang di dalamnya sulit membedakan antara orang baik dan orang jahat. Bukan tidak mungkin bisa tak lagi dapat membedakan antara kebenaran dan kejahatan. Aturan dan norma-norna pada waktunya tak akan lagi bisa mengenali siapa yang pemimpin atau siapa yang pembunuh berdarah dingin. Keadilan juga akan malu dan menyingkir ketika diminta pendapatnya untuk menghakimi siapa yang oknum, aparat dan siapa yang keparat.
Modernitas dengan segala kebaikan dan kelebihannya, juga amat sangat penuh resiko dan berbahaya. Tanpa mengabaikan aspek dualisme seperti pada manusia atau benda, modernitas juga bisa membawa komplikasi, degadrasi dan dehumanisasi. Semua yang sarat kenikmatan dan begitu menggiurkan, membuat orang perorang, kelompok atau golongan dan suatu bangsa hanya dapat melahirkan manusia pemburu harta, jabatan dan populeritas. Menjadi cinta dunia dan takut mati, kental sebagai produk manusia kreasi modern.
Zaman dengan serba instan dan praktis, semua berorientasi efisiensi dan efektifitas serta terkait soal-soal bahan baku, produksi dan pasar yang moderasinya digerakan oleh kapitalisme dan komunisme. Terbukti dan tak terbantahkan, atas nama modernitas hanya menghasilkan penjajahan manusia atas manusia (perbudakan) dan penjajahan bangsa atas bangsa (koloni dan imperium) dalam wajah dan gaya baru.
Dunia, betapapapun melakukan agitasi dan propaganda berbalut kampanye global tentang demokratisasi, HAM, pendidikan dan kesetaraan, Iklim dan lingkungan serta beraneka isu tentang strategi perbaikan peradaban dan program kemanusiaan lainnya. Semua itu seperti menjadi kebohongan dan kemunafikan internasional. Populasi warga dunia semakin terkonstruksi sebagai habitat makhluk binatang buas. Kebencian dan permusuhan sesama manusia, melambangkan wujud manusia yang egosentris, rakus dan serakah. Menciptakan perdamaian internasional dengan perang dunia. Memelihara perpecahan, konflik dan saling membunuh atas nama perbedaan yang di kemas dengan jargon dan barang dagangan pluralitas, liberalisasi dan sekulerisasi.
Warga dunia umumnya dan umat muslim khususnya, tampaknya telah memasuki fase kritis dari kemunduran peradaban manusia. Sirkulasi etika, moral dan rasa malu dalam interaksi manusia semakin terkikis menuju kepunahan. Perburuan harta, jabatan dan populeritas menjadi kegemaran untuk memuaskan ambisi dan hasrat duniawi. Kehadiran Tuhan telah tergantikan materi. Kejahatan menjadi pemimpin dan penguasa dunia. Kemakmuran dan keadilan sosial seperti mati suri. Kebenaran masih tersandera, mungkin tersembunyi dibalik jeruji tirani.
Menghalau rasa takut akan sakit, penderitaan dan kematian. Bagi pemberani yang terdidik dan
tercerahkan, sepatutnya hanya tunduk pada kekuasaan Ilahi. Ada kebenaran yang hakiki yang bersumber dari Ilahi meskipun ada yang melakukan tipu daya, banyak dimonopoli dan didominasi oleh kekuatan jahat. Melawan logika sesat rezim kekuasaan dan pakem-pakem mainstream sarat manipulasi. Sanggupkah mendengar hati nurani dan panggilan jiwa?. Masih adakah kemauan untuk mencuri kebenaran?. Sekalipun mengambilnya dari tangan rezim kekuasaan, sekalipun sendiri dan bergerak dari jalan sunyi.
Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.
Bekasi Kota Patriot.
26 Dzulhijjah 1444 H/15 Juli 2023