Oleh: Ahmad Khozinudin (Sastrawan Politik)
Sebelum membaca tulisan ini, penulis mohon agar pembaca tidak baper, terutama yang saat ini terlibat dalam Pilpres baik aktor, partisan hingga relawan. Mengingat, mungkin saja analisa dan kesimpulan dari tulisan ini tidak sejalan dengan pikiran dan suasana batin mayoritas rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan.
Ya, perubahan yang menjadikan negeri dengan kekayaan alam melimpah, SDM unggul, mayoritas muslim, letak geo strategis yang menguntungkan, dan berbagai keunggulan lainnya, menjadi lebih baik, menjadi negeri yang Baldatun, Thoyyibatun, Warobbun Ghofur. Bukan sekedar perubahan untuk menyatukan cebong dan kadrun, atau menyatukan politisi untuk bersatu dan berbagi kue kekuasaan.
Sebagai pengantar, penulis akan mengawalinya dengan memberikan batasan terminologi tentang apa itu proksi. Dalam konteks korporasi, Proksi adalah Pihak lain yang oleh seorang pemegang saham ditunjuk dan diberi wewenang untuk mewakilinya dan untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan atau diminta dalam rapat umum pemegang saham.
Dalam konteks politik, khususnya Pilpres, proksi dapat didefinisikan sebagai pihak lain yang ditunjuk oleh otoritas kekuasaan yang lebih tinggi, untuk menjalankan agenda politik sesuai perintah pemberi agenda, dimana proksi seolah-olah bertindak merdeka dan mandiri, padahal sejatinya proksi sedang menjalankan agenda tuannya. Dalam konteks konstelasi politik global, proksi bisa menjadi agen kapitalisme global, agen negara tertentu, atau agen kelompok kapitalis global.
Yang agak mirip dengan proksi adalah antek. Namun, antek seolah-olah tidak memiliki kemerdekaan dalam menjalankan agenda tuannya.
Antek adalah orang yang menjalankan agenda orang lain, atau suatu pihak yang menjalankan agenda pihak lainnya, baik dengan kesadaran dirinya menjadi antek yang mematuhi tuannya, atau secara tidak sadar dirinya menjadi bagian dari antek dari agenda global.
Misalnya saja, orang-orang yang berteriak demokrasi dan HAM, yang berjuang demi keadilan dan kesejahteraan negerinya, secara tidak sadar telah menjadi antek Amerika dan kapitalisme global. Sebab, diantara modus operandi Amerika dan kapitalisme global melakukan dan melanggengkan penjajahan (imperialisme) adalah dengan menjajakan demokrasi dan HAM.
Sementara itu politisi yang sowan ke Amerika, atau ke China, untuk mendapatkan dukungan politik, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi, maka jelas politisi yang seperti ini adalah antek. Karena secara sadar mereka meminta dukungan Amerika atau China, yang konsekuensinya tentu saja kebijakan mengelola pemerintahan harus sejalan dengan agenda dan kepentingan Amerika atau China.
Dalam Pilpres 2024 ini, penulis dapat menegaskan bahwa semua kubu yang bertarung tidak lepas menjalankan peran antek, atau setidaknya peran proksi, baik bagi Amerika maupun China, dengan pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, dari sisi narasi ada pertarungan narasi yang mengkonfirmasi pertarungan pengaruh China dan Amerika. Sehingga, proksi China tidak mungkin mengedarkan narasi anti China, sebaliknya proksi Amerika juga tak akan mempromosikan narasi anti Amerika.
Pada isu kebangkitan komunisme PKI misalnya. Proksi China begitu anti pada narasi potensi kebangkitan PKI. Mereka selalu mengedarkan kounter narasi dengan menyatakan PKI sudah dibubarkan, tak mungkin bangkit kembali dan kalau ada silahkan tunjukan, maka pasti akan digebuk.
Proksi China tak ingin isu komunisme PKI dibesarkan, karena hal ini akan memicu sentiman anti komunis, yang dampak derivatnya adalah berimplikasi pada kebijakan anti China. Padahal, di era rezim Jokowi saat ini, begitu banyak kebijakan yang melayani dan menguntungkan China, khususnya dibidang investasi dan pertambangan yang digawangi oleh Luhut Binsar Panjaitan.
Sementara proksi Amerika terlalu sibuk dengan narasi ancaman PKI, setiap bulan September selalu menggelorakan narasi kebangkitan PKI, namun pada saat yang sama tidak pernah mempersoalkan (permisif) pada dampak kerusakan dan ancaman aktual dari penerapan ideologi Kapitalisme sekuler.
Proksi Amerika yang berteriak-teriak tentang bahaya PKI, tak pernah secuilpun menyinggung bahaya Amerika, bahaya liberalisme yang menyebabkan Freeport berpuluh tahun merampok emas di Papua, bahaya liberalisme yang merusak generasi bangsa dengan nilai kebebasan, LGBT, sekulerisme, penistaan agama, dan lain sebagainya.
Baik sadar maupun tanpa sadar, narasi komunisme PKI dimanfaatkan oleh Amerika untuk menggebuk pengaruh China yang mulai merengsek memasuki sendi-sendi politik dan ekonomi di Indonesia, dan hal ini membahayakan bagi kepentingan ekonomi dan politik Amerika yang sejak era Orde Baru menguasai Indonesia secara prerogratif, nyaris tanpa pesaing.
Kedua, dari sisi endorsement politik, nampak sekali mana saja proksi politik China maupun Amerika. Proksi China yang saat ini berkuasa, tidak pernah memberikan peluang sedikitpun bagi proksi Amerika untuk mengakses legacy pembangunan di era rezim sebagai legacy politiknya. Kasus Jakarta International Stadium (JIS) adalah konfirmasinya.
Fokus rezim adalah memberikan ruang dukungan untuk kampanye proksi China agar dinilai berhasil dan baik di mata rakyat, sambil terus memanfaatkan kekuasaan untuk menekan proksi Amerika yang sedang berusaha mengambil alih kekuasaan. Dipersoalkannya proyek Formula E dan diabaikannya kerugian negara dalam kasus Mandalika adalah bukti kongkritnya.
Sementara Amerika, memberikan ruang endorsement bagi proksinya dengan membuatkan panggung parade elektabilitas dalam forum-forum internasional, baik di tingkat Eropa, atau pertemuan lembaga-lembaga dunia. Amerika memaksimalkan panggung yang dikuasainya, untuk memoles proksinya agar dipandang baik dan diterima rakyat Indonesia.
Ketiga, terjadi perseteruan dan perang tidak langsung antara Amerika dan China melalui proksinya, baik secara ekonomi maupun politik. Dan pada akhirnya, baik Amerika maupun China menyadari kunci kemenangan pertarungan Ekomoni dan politik ini adalah ketika Amerika maupun China mampu mendudukkan proksinya ke tampuk kekuasaan R.I. 1.
Kasus kebijakan hilirisasi nikel, misalnya. Kebijakan ini sangat menguntungkan China, Karena mayoritas pemain tambang nikel asing adalah china, bukan Amerika dan Eropa.
Dampaknya, pasar global Eropa dan Amerika kekurangan pasokan nikel murah, kalaupun ada harus melalui transit China dengan harga yang lebih mahal. Karena pada akhirnya, kebijakan hilirisasi ini hanyalah modus operandi China melalui proksinya, untuk mengamankan pasokan bahan baku nikel bagi industri China, terutama di era konversi energi dari bahan bakar fosil menuju energi listrik.
Buktinya, meski ada larangan eksport, meski ada kebijakan hilirisasi, ternyata sepanjang 2021 hingga 2022, ada 5 juta ton nikel yang dieksport langsung dari Indonesia ke China. Hal ini jelas-jelas merugikan kepentingan ekonomi Amerika dan Eropa, untuk mendapatkan bahan baku nikel murah dari Indonesia.
Secara politik, Amerika menggunakan kekuatan proksinya dengan memanfaatkan perlindungan Sheriff Amerika di Asia Tenggara (Australia), agar proksi Amerika dapat menyerang dengan kekuatan penuh proksi China, tanpa resiko kriminalisasi karena berada dibawah suaka politik Amerika melalui Sheriffnya.
Serangan ini akan terus dilakukan, dan akan semakin besar mendekati Pilpres 2024. Target serangan adalah menjatuhkan rezim proksi China, atau setidaknya mendelegitimasinya, agar tidak melakukan atau melanjutkan rencana proksi China untuk menghalangi proksi Amerika untuk naik ke tampuk kekuasaan.
*Keempat,* kedua kubu baik proksi China maupun Amerika saat ini sedang saling mengintai dan siap memangsa. Apalagi proksi China, merasa diatas angin disebabkan dua alasan:
1. Proksi China saat ini berkuasa, sehingga dapat memanfaatkan seluruh instrumen kekuasaan untuk menekan lawan sekaligus meningkatkan dukungan elektabilitas bagi capres yang didukungnya.
2. Proksi China sadar, proksi Amerika tidak akan terlalu mendapat dukungan penuh dari Amerika karena secara global Amerika konsentrasinya sedang terpecah karena krisis Rusia VS Ukraina. Ada adagium yang menyatakan “terlalu sulit untuk memenangkan dua pertarungan dalam waktu yang bersamaan’.
Sementara proksi Amerika menyadari dengan kesadaran utuh dan menyeluruh, bahwa proksi China saat ini sedang bangkrut, tidak memiliki legitimasi politik berupa dukungan rakyat dalam memimpin rakyat. Karena rakyat memahami, semua kerusakan yang saat ini dialami Indonesia adalah karena ulah rezim proksi China.
Meskipun demikian, setelah kontestasi Pilpres 2024 usai maka Amerika dan China tetap akan berbagi peran dan kapling jajahan di Indonesia. Pertarungan yang mereka lakukan baik secara langsung maupun melalui proksinya, hanyalah untuk memperluas batas wilayah jajahan, bukan untuk saling menyerang dan mematikan.
Pada akhirnya, siapa yang mampu mendudukan proksinya ke tampuk kekuasaan, maka dialah yang akan memiliki saham mayoritas untuk menjajah negeri ini. Sementara kubu yang lain, tetap memiliki andil dan selalu akan mendapatkan bagian dari deviden penjajahan.