Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)
Puncak dari amalan agama adalah berjihad fie sabilillah, baik dalam pengertian yang sempit maupun pengertian yang luas. Rasulullah saw tidak kurang dari 27 kali maju ke medan perang. Allah swt menyatakan bahwa : “Apakah kamu bisa masuk surga sebelum Allah tahu siapa-siapa orang yang berjihad di antara kalian dan tahu pula orang-orang yang bersabar”(Q.S. 3:142)
Agama (Islam) mewajibkan kita untuk berjihad bela agama dan negara, jika kita sudah berada dalam salah satu dari tiga kondisi berikut :
1. Mereka (kaum kuffar) telah memerangi kita baik fisik, ekonomi, politik, maupun ideologi.
2. Jika Agama Islam dinistakan
3. Jika negara diambang kehancuran karena ulah para “penjajah”
Membela negara termasuk bagian dari jihad fie sabilillah. Negara memanggil kita sebagai seorang warga negara yang cinta kepada negaranya, apalagi sebagai orang beriman untuk ikut ambil bagian di dalam perjuangan ini, sebelum negara ini benar-benar jatuh ke tangan penjajah China komunis. Jika China komunis sampai menguasai Indonesia, mereka akan lebih kejam dan sadis daripada penjajah Belanda. Peristiwa 1948 dan 1965 bakal terulang lagi, di mana para ulama, para santri, tokoh agama, dan TNI akan dihabisi mereka. Jika kita terlambat bergerak, semuanya akan hancur berantakan. Dan momentum itu hanya sekarang, lewat tahun 2024 semuanya akan menjadi sia-sia belaka. Mereka saat ini sedang memobilisasi semua kekuatan mereka : tekanan hutang yang sudah menggunung, uang (hasil merampok kekayaan Indonesia) yang tanpa batas, cengkeramannya terhadap rezim boneka, para antek-antek komunis, para buzzer rp, para pejabat pengkhianat, dan kedunguan rakyat kita yang mudah dibeli dengan harga beberapa puluh atau ratus ribu saja, tapi kemerdekaan mereka direnggut.
Para tokoh agama dan bangsa yang peduli pada keselamatan negara dan bangsa, telah amat geram dengan ketamakan, kezaliman dan penghambaan diri kepada oligarki taipan dan China komunis dengan mengorbankan rakyatnya sendiri. Negara telah hancur berantakan masih juga ingin bertahan dan tidak rela negara dipimpin oleh orang yang mampu yang dapat mengembalikan kejayaan Indonesia. Demi keserakahan, demi lari dari tanggung jawab, demi kepuasannya jadi jongos penjajah, pintu-pintu kebaikan dan rehabilitasi malah ditutup rapat-rapat. Masih adakah manusia melihat rezim ini dari sisi kebaikan (hakiki)?
Seorang tokoh bangsa seperti Amien Rais, atau Gatot Nurmantyo, atau Mudrick Sangidu, atau Din Syamsuddin dll sudah menyerukan People Power Demi siapakah people power itu : demi ambisi pribadi, jabatan, kekuasaan, atau untuk menghentikan kesewenang-wenangan rezim Jokowi ? Tanpa people power, bisakah rezim ini dihentikan dari keserakahannya ?
Sudah perlukah people power ? Atau ada cara lain untuk menghentikan kezaliman rezim ini ?
Mari kita hidupkan akal sehat dan nurani kita, dalam posisi mana kita berpijak, dan itulah yang akan kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Sabda Nabi saw
مَن مات ولم يَغْزُ، ولم يُحَدِّثْ نفسَه بالغزو مات على شعبةٍ من النِّفاق،
“Siapa yang meninggal dunia dalam keadaan tidak pernah berperang (di jalan Allah), dan tidak pernah berniat untuk berperang, maka ia mati di atas salah satu cabang kemunafikan.”(H.R. Muslim)
Bandung, 4 Dzulhijjah 1444