Disampaikan Oleh *Yusuf Blegur*
Pancasila terpaku membiarkan yang kaya menjadi kaya dan yang miskin semakin miskin. Pancasila tak berdaya melihat perampasan tanah dan penggusuran rakyat oleh pengusaha dan penguasa. Pancasila linglung membiarkan eksploitasi dan penindasan pada buruh tani dan nelayan. Pancasila salah tingkah, karena malu telanjang tanpa pakaian kemakmuran dan keadilan.
Pancasila ditengah diskursus kapan hari lahirnya dan siapa yang mencetuskannya. Dalam pemaknaannya kadang menjadi pasar raya tafsir di satu sisi dan terus digugat kebermanfaatannya di lain sisi. Bagi rakyat, tak peduli soal siapa yang menemukannya, apapun pengertiannya, juga makna yang terkandung di dalamnya.
Yang dipahami rakyat, bagaimana Pancasila menjadi petunjuk teknis dari penjabaran keinginan para “the founding farents” dan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Rakyat terlalu lelah dan jumud diajak bergumul tentang pemahaman filsafat historis dan filsafat materialisme dari Pancasila. Mungkin juga rakyat tidak tahu dan masa bodoh dengan landasan ideologi ataupun dasar negara yang disematkan pada Pancasila. Apalagi dengan istilah “philosofishe grondslag” yang terdengar asing dan aneh di telinga rakyat.
Rakyat hanya ingin merasakan kehadiran Pancasila mampu menjawab problematika keseharian hidup rakyat. Tentang petani yang memiliki sawah sendiri dan mampu melakukan produksi pangan dengan maksimal. Tentang nelayan yang gagah berani dengan kapal penangkap ikan sendiri yang layak dan modern mampu mengarungi lautan untuk menggali kekayaan laut. Tentang buruh yang penghasilannya lebih dari cukup tanpa dibatasi upah minimum dari sistem industri. Semua tentang profesi mulia yang menjadi soko guru revolusi tersebut, mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan keluarga juga bisa menopang kebutuhan rakyat keseluruhan. Petani, buruh dan nelayan yang sejahtera, yang oleh karena itu dapat menghidupi bangsa.
Rakyat juga lebih berharap banyak pada Pancasila yang mampu membebaskan rakyat dari beban beratnya biaya pendidikan, mahalnya ongkos kesehatan dan juga sulitnya memiliki pekerjaan yang layak. Mendapat perlakuan hukum yang adil, terlindungi dari arogansi dan represi aparatur negara.
Pancasila idealnya mampu mengatasi kemiskinan, kematian rakyat karena kelaparan dan tergilas oleh mesin pemilik modal. Pancasila yang bersahabat karena menghidupkan kesadaran kelas bukan jurang curam yang menganga pertentangan kelas dan memicu konflik. Pancasila yang menjadi sintesa dari dominasi dan hegemoni pertarungan sosialisme (komunisme) dan kapitalisme. Pancasila yang digali dari buminya Indonesia sebagai “objective gegiven” yang menjadi lumbung nasionalisme dan patriotisme.
Kerinduan rakyat pada persamaan hak, kesetaraan sebagai warga negara serta sikap respek para penyelenggara negara. Keinginan dan harapan yang memuncak pada Kegelisahan mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bukan pada slogan atau jargon, bukan pada figura di dinding kantor pemerintahan dan sekolah atau perguruan tinggi, bukan pula pada sekedarnya status dan simbol negara yang susah payah disusun sebagai konsensus nasional. Bukan semata fokus pada pesan kebhinnekaan dan kemajemukan yang terkandung di dalamnya. Apalagi terpaku pada Pancasila yang tekstual, artifisial dan semua yang hanya formalitas.
Tapi Pancasila yang sejati dan hakiki itu, adalah Pancasila yang kuat bisa mencegah perampasan tanah dan penggusuran rakyat oleh pengusaha dan penguasa. Pancasila yang gigih melepaskan cengkeraman mafia dan oligarki yang bercokol dalam pemerintahan dan leluasa menentukan proses penyelenggaraan negara. Panca Sila yang meniadakan bangsanya sendiri bersama bangsa asing sebagai penjajah (nekolim). Tak kalah pentingnya Pancasila yang mampu membebaskan rakyat, negara dan bangsa Indonesia dari berhala materialisme dan kembali menjunjung tinggi spiritualitas. Ya, Pancasila sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang dapat meluruskan jalan dan menjadikan keadilan.
Dapatkah Pancasila seperti itu?. Apakah mampu mengadakan Pancasila yang demikian?. Sepatutnya bangsa Indonesia bergegas melakukan refleksi dan evaluasi Pancasila secara konseptual dan praksis. Jangan sampai tak tahu menjawab apakah Indonesia masih perlu Pancasila?. Atau boleh jadi timbul pertanyaan, Pancasila, hidup atau mati?.
Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.
Bekasi Kota Patriot.
2 Juni 2023/13 Dzulqa’dah 1444 H.