Presiden Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

Senandika atau solilokui adalah wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, atau untuk menyajikan informasi yang diperlukan pembaca.

Baca majalah Bobo beda ketika baca novel sekalipun sama sama corat coret manusia, hanya anding yang yang ingin capai dan dampak pengaruhnya akan beda.

Presiden tidak ada salahnya harus baca novel lawas ziarah karya Iwan Simatupang diwaktu luangnya. Mungkin akan teringat pendapat Sartre tentang kematian, ” kematian adalah sesuatu diluar eksistensi manusia “.

Disanalah Iwan Simatupang mengungkapkan tentang misteri kematian sebatas yang diketahui entah dari mana sumbernya.

Bisa jadi kematian memang bukan semata untuk manusia yang mengalami, tetapi untuk manusia yang masih hidup. Itulah sebab manusia perlu sebuah tempat untuk menentukan kedudukan geografisnya setelah mati. Lalu lahirlah pekuburan, jembatan penghubung antara kematian dengan kehidupan setelah mati

Pekuburan memiliki makna lain yang tak kalah penting, menjadi upaya manusia memberikan harga pada kehidupan. Dengan indahnya opseter membangun logika tersebut melalui stream of consciousness, miskin dan kaya , presiden atau rakyat bagiannya sama hanya sepetak tanah akan dihuni sampai hari kebangkitan.

Manusia pastilah memiliki kuburan dari sanak saudaranya yang telah mati, tempat ia mempertautkan diri pada kenangan, baik atau buruk.

Kematian itu tiada maka kematian itu merupakan sesuatu yang ada, yaitu ketiadaan itu sendiri.

Tentu bukan sebatas itu makna kematian, atau kematian di maknai sebatas hidup dan mati. Malah minta bukti, karena dibayangkan hanya akan kembali menjadi tanah.

Bukankah kematian suatu pengadaan dari makna rotasi dari tiada, menjadi ada, tiada (mati) dan kembali ada. Makna tiada sesungguhnya tetap ada, dalam siklus keberadaan manusia itu sendiri.

Syekh Siti Jenar rupanya benar, ” Kehidupan seperti orang yang bermimpi dalam tidur. Maka ketika ajal datang, kematian menjadi cara Tuhan membangunkan manusia dari tidur untuk menjalani kehidupan yang sesunguhnya “.

Iwan Simatupang tidak menceritakan secara runtut dan rinci justru disitulah, Iwan tetap memberi ruang misteri karena bingung sendiri untuk memaknai bagi manusia yang percaya atau tidak ada alam setelah kematian.

Dari ruang agama ( Islam ) sangat jelas resiko setelah mati baik atau buruk, terang atau gelap gulita.

Pada makna hakiki resiko inilah Iblis bermain, menihilkan makna kemanusiaan. Sampai muncul nya manusia Wahn ( cinta dunia dan takut mati).

Sangat mungkin Iwan Simatupang tidak berani menceritakan kehidupan makhluk sebelum Nabi Adam. Bagaimana perjalanan makhluk Sabirin Nasar, Baanul Janna dan riwayat Jin Azazil sebagai pemimpin Malaikat untuk menyembah Tuhannya, dengan umur ribuan tahun ahirnya misteri kematian datang juga

Kerena kesombongan dan bergaya mengetahui sesuatu rahasia Allah SWT yang mereka tidak ketahui, ahir nya kena laknat Nya.

Dari sinilah keturunan Jin Azazil menyeret eksistensi manusia karena dendam di seret kepada kesesatan.

Iblis itu terdiri dari jin dan manusia. Iblis itu aslinya baik dan sebaik baiknya makhluk ( pimpinan Malaikat ). Hanya karena menolak perintah Allah SWT untuk sujud kepasa Adam akhirnya dilaknat Allah SWT.

Semua akan berakhir dengan kematian, indahnya dalam novel Iwan Simatupang ada episode suami yang masih hidup nanar, terus mencari istrinya yang telah mati, di pekuburan.

Maraklah manusia syetan bertingkah seperti Azazil berlaku hidup seenaknya mengira setelah mati tanpa resiko, bahkan karena jadi presiden ingin hidup 1000 tahun lagi, ingin genggam kekuasaan selama lamanya. Tidak peduli akan mati.

Syetan bukanlah makhluk tetapi energinya Iblis, yang akan terus merusak manusia menjadi sombong, congkak, zalim, jahat, angkuh, kejam terhadap sesama manusia adalah kelalaian hidup sebelum mati.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News