Menyikapi Perbedaan Tanggal 1 Syawal

Oleh : Sholihin MS

Perbedaan menentukan tanggal satu syawwal sudah terjadi dari zaman para sahabat r. anhum. dan akan terus demikian sampai kapan pun, kecuali semua ikut (taat) Mufti (Pemberi Fatwa dalam sebuah negara)

Qiyas yang terkenal yang jadi perbandingan adalah kisah tentang perjalanan seorang sahabat bernama Kuraib ra dari Madinah ke Syam (Siria). Beliau r.a. berangkat pada awal Ramadhan dan kembali ke Madinah pada akhir Ramadhan.

Waktu beliau r.a. kembali ke Madinah pada hari Jum’at dan di Syam sudah masuk Idul Fitri, tapi sesampainya di Madinah kaum Muslimin masih shaum karena belum masuk tanggal 1 syawwal. Padahal, jarak Syam dan Madinah sekitar 1.120 kilometer. Mathla’ keduanya sudah berbeda mathla’. Apalagi jika jaraknya sejauh Arab Saudi dan Indonesia. Tentunya mathla’-nya sangat berbeda,” ujar seorang ulama.

Perbedaan penentuan tanggal 1 syawwal termasuk bagian dari perbedaan teknis (kaifiat) syar’iyyah, bukan ushul. Ini sama dengan penentuan Shubuh yang pakai Qunut dengan yang tidak pakai qunut

Perbedaan dalam tata cara amaliyah bisa disebabkan beberapa hal :

Pertama, dari Rasulullah saw memang sudah ada perbedaan. Kadang Rasulullah saw mengajarkan kepada Ali bin Abi Thalib r.a. berbeda dengan yang diajarkan kepada sahabat yang lain.

Contoh tentang bacaan iftitah

Kedua, Nash hadis dari Rasulullah saw sama, tapi ditafsirkan berbeda oleh para sahabat dan para mufassirin

Contoh tentang menggerakkan jari ketika tahyat

Ketiga, Petunjuk dari Rasulullahnya tidak lengkap, lalu disempurnakan oleh para sahabat r.anhum dengan amalan yang berbeda

Contoh tentang shalat tarawih

Keempat, Rasulullah saw belum pernah memberi contoh secara amaliyah, tapi berupa panduan umum. Lalu dilaksanakan oleh para sahabat dengan pemahaman mereka.

Contoh tentang penentuan tanggal 1 Ramadhan dan 1 syawwal

Kelima, tidak ada contoh dari Rasulullah saw dan para sahabat, lalu para ulama mujtahidin melakukan ijtihad.

Contoh tentang zakat fithrah menggunakan beras dan uang

Oleh karena perbedaan-perbedaan itu tidak termasul ushul (pokok), hendaknya setiap Muslim berfatwa dengan hati nuraninya. Tidak tepat satu golongan mengklaim paling benar dan menyalahkan golongan lain. Yang paling diterima okeh Allah adalah yang paling ikhlas.

Jika satu golongan telah mengambil istinbath (dasar hukum) tertentu, tidak perlu terpengaruh dengan istinbath golongan lain. Yang Idul Fithrinya Hari Jumat, haram berpuasa hari Jum’at, dan yang Idul Fithrinya Hari Sabtu, Jumat harus tetap berpuasa. Jangan terombang ambing : sebagian ikut sana, sebagian ikut sini. Itu orang yang tidak punya pendirian alias dungu.

Wallahu a’lam

Bandung, 28 Ramadhan 1444

Simak berita dan artikel lainnya di Google News