Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)
Umumnya politisi indonesia memahami politik dari dunia praktis. Hanya hitungan jari politisi yang memahami politik dari dunia akademik: teori dan praktek setelah belajar dan memahami ilmu politik.
Di negara-negara maju, teori diilhami oleh praktik, di negara berkembang, praktik diilhami oleh teori. Politisi saat ini merasa paling pintar, sehingga lain sekolahnya lain bicaranya. Hanya memburu hidup hedonis dan enjoy live.
Undang-Undang Pemilu dijadikan salah satu alat untuk memperpanjang nafsu ingin tetap berkuasa. Republik kita ini sedang sakit dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.
Banyak pejabat negara dan partai politik hanya sebagai “pelacur politik”. Orang-orang ini resminya anggota suatu partai tetapi tunduk pada pihak lain.
Pemilu merupakan bagian dari amanah konstitusi, konstitusi dirusak adalah merupakan tindakan biadab, tercela hanya ingin tetap berkuasa, tidak ubahnya dengan “pelacur politik”.
Bung Hatta sendiri kerap memberikan penyadaran, bahwa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah sering terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap konstitusi.
“Kita tidak hanya punya konstitusi, tetapi kita juga harus punya kesadaran, taat, menjunjung tinggi dan menjalankan, menjaga berkonstitusi, dengan konsekuen dan bertanggung jawab.
Tugas utama seorang presiden adalah melindungi konstitusi dan melaksanakan undang-undang, bukan membuat kerusakan.
Desakan impeachment atau pemakzulan terhadap sejumlah presiden yang melanggar konstitusi sudah merupakan hal biasa, karena demokrasi dan penegakan hukumnya berjalan beriringan.
Sayangnya MPR sebagai lembaga tertinggi negara sudah di pangkas habis kekuasaannya. Pada amandemen ke empat fungsi MPR lumpuh total. Bahkan dengan UUD 2002 negara menjadi liar, kompas pembukaan UUD 45 di musnahkan dalam pasal pasal UUD 2002.
Rezim saat ini mata gelap nafsu politiknya, berkolaborasi dengan para ketum partai politik yang telah berkuasa menggilas demokrasi mengabaikan dan melanggar konstitusi adalah perilaku liar dan barbar dalam negara.
Kenapa dari mereka muncul tindakan yang melecehkan konstitusi ?
“Pertama”, karena banyak elite penguasa dan ketua umum partai di Indonesia saat ini yang memiliki komorbid, yaitu penyakit bawaan berupa kasus-kasus hukum yang menjeratnya belum tuntas atau diambangkan.
Mereka tersandera dan harus tunduk melakukan kudeta konstitusi. Kasus-kasus hukum mereka seperti korupsi dan perbuatan tercela lainnya dibarter dengan dukungan kudeta terhadap konstitusi.
“Kedua”, berkembang dugaan munculnya wacana mempertahankan dsn mengamankan kekuasaan ini berkaitan dengan kekhawatiran kalau Presiden Jokowi menyelesaikan masa jabatannya dalam dua periode, diduga akan muncul gelombang tuntutan hukum dari masyarakat atas berbagai kebijakan yang merugikan rakyat yang dilakukannya selama berkuasa.
“Ketiga”, mereka berpolitik tidak berbekal basis pemahaman sejarah. Politik direduksi jadi seni menipu rakyat. Sebagai teknik transaksi bukannya etik.
UUD 2002 untuk menyelundupkan agenda gelap, memanipulasi, menipu dan memperpanjang kekuasaan memenuhi syahwat para komprador liberalis, kapitalis dan imperialis gaya baru
Jadi, esensinya, konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi mereka lecehkan sebagai sekedar sarana untuk merebut kedaulatan rakyat.
Kini saatnya elemen-elemen pro demokrasi menyelamatkan konstitusi yang sedang terancam oleh kudeta para begundal makar konstitusi.
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli yang sejak awal mencermati gejala yang akan berimbas pada kehancuran konstitusi ini secara gamblang sudah memperingatkan kepada Jokowi, untuk hari hati jangan bertindak sembrono dan ugal ugalan.
Resiko politik untuk Jokowi sangat besar dan akibatnya akan sangat mengerikan, sebagai makar dan pelacur politik