Oleh: Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Pada 7 September 2022, beredar sebuah video yang memperlihatkan sejumlah pengemudi sepeda motor tergelincir hingga terjatuh di Jalan Pintu Besar Utara, Kota Tua, viral di media sosial.
Saat itu revitalisasi Kota Tua yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta di bawah Gubernur Anies Baswedan sudah rampung. Dengan cepat para pendukung gubernur sebelumnya, Ahok, menyambar video itu untuk memperkuat narasi mereka tentang “Anies tak bisa kerja”.
Jalan tempat terjadi kecelakaan memang licin. Saya jadi berpikir kok hal elementer ini bisa luput dari perencanaan Pemprov, padhal Anies dikenal cermat dan teliti dalam membuat dan mengeksekusi tiap perencanaan dan kebijakan.
Rasa penasaran saya baru terjawab tiga hari kemudian melalui penjelasan Anies yang saya baca dari media. Ia mengatakan para pemotor itu melanggar aturan karena, setelah direvitalisasi, Kota Tua menjadi jalur pedestrian.
“Saya sudah tegaskan kepada Dishub dan Satpol untuk lebih disiplin dalam menjaga.” Memang motor-motor yang berjatuhan itu disebabkan mereka memasuki kawasan pejalan kaki, yang tidak didesain untuk motor.
Anies meminta para pengemudi motor menghormati kawasan Kota Tua yang sudah direvitalisasi menjadi jalur pedestrian. Bila pemotor memasuki Kota Tua akan membahayakan para pejalan kaki.
Sebenarnya di tempat kecelakaan itu sudah ada tulisan “khusus untuk pejalan kaki.” Permukaan jalan di sini berupa batuan andesit, bukan aspal. Maka, saat diguyur hujan, permukaan jalan menjadi licin.
Tujuan menjadikan kawasan pejalan kaki dan pesepeda adalah agar tercipta low emission zone (zona rendah emisi). Dus, Anies melakukan konversi dari jalan yang semula untuk roda diubah menjadi jalan untuk kaki dan sepeda. Ini sdh diterapkan sejak 2021.
Dengan konsep jalan untuk kaki, Anies menciptakan kawasan Kota Tua sebagai kawasan yang tidak memandang strata sosial. “Karena kalau jalan di trotoar tidak ada pangkat dan jabatan. Semuanya sama. Jalannya setara membuat perasaan setara. Siapa saja, baik internasional, domestik, yg punya jabatan maupun tidak, akan bisa menikmati Kota Tua dalam perasaan kesetaraan,” kata Anies.
Pernyataan Anies ini mengejutkan saya. Betapa semua kebijakannya berintikan keadilan sosial dan berpusat pada kebutuhan semua warga tanpa kecuali. Kebutuhan kaum disabilitas pun dipenuhi sehingga memudahkan mobilitas mereka dalam mengunjungi puluhan situs sejarah di kawasan ini.
Kota Tua — kini Anies mengembalikan pada nama asilnya “Batavia” — dijuluki “Permata Asia” dan “Ratu dari Timur” pada abad ke-16 oleh pelaut Eropa karena merupakan pusat perdagangan di Benua Asia dan lokasinya strategis dengan sumber daya melimpah.
Pada 1526, Fatahillah dikirim Kesultanan Demak untuk menyerang pelabuhan Sunda Kelapa di kerajaan Hindu Pajajaran. Nama Sunda Kelapa kemudian diubah menjadi Jayakarta. Kota ini mulanya hanya seluas 15 hektare dan memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa.
Pada 1619, VOC menghancurkan Jakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Setahun kemudian, VOC membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren, leluhur bangsa Belanda.
Penduduk Batavia disebut “Batavianen”, yang kemudian dikenal sebagai suku “Betawi”, terdiri dari etnis kreol yg merupakan keturunan berbagai etnis yang menghuni Batavia. Dalam pembukaan Festival Batavia Kota Tua, 26 Agustus 2022, Anies mengajak warga berwisata ke Kota Tua untuk menyaksikan perjalanan sejarah Jakarta.
Memang di kawasan ini kita bisa melihat bagaimana perjalanan sejarah kota ini selama 400 tahun, ditandai dengan bangunan-bangunan yang dibangun sejak 1600-an. Tapi Kota Tua bukan sekadar wisata sejarah, melainkan tempat yang bisa membawa orang melintasi waktu.
Tak sulit mencapai kawasan ini karena revitalisasi mencakup integrasi transportasi di Kota Tua dengan tujuan meningkatkan aksesibilitas melalui integrasi beragam moda transportasi, seperti kereta api, MRT, Transjakarta, hingga angkot.
Dan setelah direvitalisasi, ada sejumlah hal baru yang bisa ditemukan di sini. Saat ini masyarakat bisa menikmati area pejalan kaki yang lebih luas dengan kualitas udara yang baik. Di tempat ini kita akan merasakan pengalaman baru bagaimana berjalan kaki sambil menikmati segala macam fasilitas, sekaligus membuka ruang untuk kita berinteraksi bersama.
Trotoar menjadi lebih luas dan ramah bagi pejalan kaki. Apalagi trotoar yang biasa dipenuhi pedagang kaki lima, kini lebih bersih dan rapi. Ini jg membuat kita relatif lebih mudah menyebrang jalan. Trotoar pun lebih ramah bagi penyandang disabilitas karena dilengkapi ubin pengarah (guiding block).
Trotoar di beberapa ruas jalan dirombak. Tak ada lagi kendaraan bermotor lalu-lalang. Di sepanjang jalan kawasan ini, terdapat beberapa tempat duduk untuk warga beristirahat. Banyak warga memadati area ini untuk berfoto, bersantai, atau keliling naik sepeda. Tak ada lagi Terowongan Penyebrangan Orang (TPO).
Area yg dulu bekas Halte Transhakarta Kota dan jalan kendaraan, kini mnjadi ruang terbuka yang lebih nyaman bagi pejalan kaki. Jika Anda pernah ke Kota Tua, mungkin Anda ingat bagaimana kita harus melalui TPO dengan air mancur sebelum akhirnya naik lagi dan keluar di pintu dekat Museum Bank Mandiri. Barulah setelah itu kita berjalan menuju lapangan Fatahillah.
Kini TPO tak ada lagi, hanya ada sebuah tugu jam berdiri di tengah pelataran di samping Stasiun Jakarta Kota. Di sisinya terlihat kolam air mancur. Di pelataran itu juga ditempatkan beberapa pot dengan batang menancap di tanahnya yang belum tumbuh rindang untuk menjadi tempat berteduh di siang hari.
Sebagai bagian dari reviralisasi, para pedagang kaki lima yang biasa memadati kawasan ini dipindahkan ke beberapa lokasi. Salah satunya lokasi binaan (lokbin) Kota Intan. Alhasil, yang saya tulisan ini hanya sebagian dari revitalisasi yg dilakukan Anies di kawasan ini.
Anies menyebut kawasan Kota Tua dirancang ulang menjadi kota masa depan. Menurutnya, nama Batavia mencerminkan masa lalu, tapi dikemas sebagai kota modern masa depan.
Pernyataan Anies ini akan terbukti dengan sendirinya setelah Anda berkunjung ke sana. Kota Tua kini berpotensi ditetapkan UNESCO sbg warisan budaya dunia. “Anies tak bisa kerja?”
Tangsel, 7 April 2023