Ketum PP Muhammadiyah Nilai Isu Radikal, Intoleran dan Politik Identitas Memecah Belah

Isu radikal, intoleran dan politik identitas memecah belah bangsa Indonesia. Masyarakat terlalu disibukkan ketiga isu itu melupakan berbagai persoalan bangsa mulai kemiskinan, korupsi dan kerusakan lingkungan.

“Jangan-jangan isu itu memecah belah kita juga. Akhirnya umat dipecah belah: ini radikal, ini tidak radikal; ini toleran, ini tidak toleran,” kata Ketua Umum PP Haedar Nashir dalam peresmian Rumah Sakit Umum Universitas Muhammadiyah di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (11/3/2023).

Haedar mengkritik pihak-pihak yang melakukan dikotomi berdasarkan politik identitas.Tetapi dikotomi itu justru dipakai untuk merebut hati kelompok santri.

“Ini politik identitas, ini tidak politik identitas. Padahal semuanya punya identitas. Hanya ada yang dikedepankan, ada yang disembunyikan. Kami ini paham teori politik tentang front stage dan back stage. Apa yang ada di depan dan dikedepankan, dan apa yang ada di belakang,” ungkapnya.

Baca juga:  Emak-Emak Tergabung dalam KOPPI Demo di Depan Istana Tolak Kenaikan Harga BBM

Haedar berharap ada kesadaran bahwa setiap umat beragama saling menghormati di tengah perbedaan. “Itu namanya persatuan dewasa. Sistem ini harus dibangun. Sebab kalau hal-hal fisik semata-mata, itu nanti ketika ada hal fundamental, kita tidak bisa menjaga itu,” katanya.

“Nyatanya ketika ada problem, misalkan sebuah rumah ibadah tidak bisa berdiri. Tahu-tahu ke internasional. Padahal hal yang sama kita peroleh, misalkan, satu kelompok agama di kelompok mayoritas yang lain tidak mudah juga bikin rumah ibadah. Maka ada mekanisme sistem, aturan, dan lain sebagainya. Itu yang perlu kita bangun dan kedewasaan kita,” kata Haedar.

Rumah sakit, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga sosial, menurut Haedar, sebenarnya pranata menyatukan bangsa. “Lewat rumah sakit semua orang bisa hadir bersama. Muhammadiyah dengan keterbatasan yang kita miliki bisa menghadirkan rumah sakit, sekolah, dan lembaga pendidikan yang lain. Itu sebenarnya menyatukan,” katanya.

Baca juga:  Polisi Datangi Rumah Wakil Ketua Muhammadiyah Jateng Malam-malam, Ada Apa?

Mayoritas mahasiswa perguruan tinggi dan siswa-siswa sekolah milik Muhammadiyah di Nusa Tenggara Timur dan Papua beragama non Islam. Muhammadiyah bisa diterima oleh masyarakat di dua wilayah tersebut.

“Sadar atau tidak, itu sebenarnya wujud dari membangun budaya dan sistem bhinneka tunggal ika lewat pranata sosial, pendidikan, dan kesehatan. Sehingga Muhammadiyah pun ikut memberi sumbangsih bagi integrasi nasional,” kata Haedar.

“Sejatinya bangsa kita punya kekuatan kultural yang bagus untuk bersatu. Tapi sering isu-isu politik yang tidak terkendali dan tidak adanya keteladanan dari para elite di berbagai lapisan, serta sistem kita yang masih belum mapan, maka kita sering menghadapi situasi-situasi critical dalam relasi sosial kita,” kata Haedar.