Oleh: Marwan Batubara, IRESS
Heboh mega skandal korupsi pajak Rp 300 triliun melibatkan pejabat negara di Kementrian Keuangan, terutama Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai telah berlangsung hampir 2 minggu. Setelah Kasus Sambo pembunuh Brigadir Josua berikut peran Satgasus Merah Putih (MP) sarat berbagai kriminal kategori jumbo, maka kasus korupsi pajak ini adalah kejahatan kerah putih orde KAKAP yang terjadi dalam pemerintahan Jokowi. Maka tak heran jika Menkeu Sri Mulyani dihujat berbagai kalangan untuk bertanggungjawab dan segera mundur dari jabatan.
Dalam Kasus Sambo dan Satgasus MP, dana yang “dikepul dan dikelola” dari tindak kriminal klas tinggi berupa perjudian, perdaganagn narkoba, pengelolaan/izin tambang, dan lain-lain, diperkirakan berorde ratusan triliun Rp. Sedangkan dalam mega skandal korupsi pajak, keterlibatan kedua direktorat di Kemkeu menyangkut proses pengumpulan dana untuk penerimaan APBN bernilai ribuan triliun Rp. Terlepas proses pro justisia pidana korupsi harus berjalan, gugatan berbagai kalangan terhadap Sri Mulyani dapat difahami dan harus diproses.
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan transaksi gelap korupsi pajak di Kemenkeu senilai Rp300 triliun (8/3/2023). Transaksi mencurigakan tersebut terakumulasi sejak 2009 hingga 2023. Kasus penganiayaan anak Rafael Alun Trisambodo, pegawai Kemkeu, menjadi awal terbukanya mega skandal. PPATK menyatakan sudah sering melaporkan penyelewengan yang terjadi, tapi dikatakan oleh Mahfud, laporan tersebut selalu didiamkan Kemkeu.
Menkeu Sri Mulyani mengaku tidak tahu soal transaksi janggal Rp 300 triliun tersebut. Sri mengaku memang kantornya sudah menerima surat dari PPATK, namun ia tidak menemukan penyebutan angka Rp 300 triliun (10//02023) seperti kata Mahfud. Belakangan Menko Mahfud menjelaskan bahwa transaksi di atas berasal dari dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) melibatkan 467 pegawai Kemenkeu. Dikatakan TPPU bukan korupsi perseorangan, tetapi beramai-ramai (10/3/2023).
Kita khawatir kategorisasi atau penyebutan modus TPPU atas penyelewengan pajak di atas merupakan salah satu upaya untuk mengaburkan kasus. Hal tersebut dapat pula dianggap sebagai upaya untuk mencegah terjeratnya oknum-oknum KAKAP oligarki penguasa-pengusaha dari proses hukum tipikor. Terutama karena panjangnya proses dan tidak jelasnya “leader” lembaga hukum yang harus memeroses TPPU. Belum lagi, oknum-oknum oligarki penentu dan sangat berperan, tampaknya pun telah mengintervensi. Maka berubah sikaplah Menko Mahfud dan Ketua PPATK… sehingga mega skandal pajak akhirnya bisa layu sebelum mekar…
Padahal dipahami bahwa tindak pidana korupsi terkait erat dengan TPPU. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan asal dari tindak pidana pencucian uang. Sebaliknya, tindak pidana pencucian uang adalah kejahatan lanjutan dari tindak pidana korupsi. Dengan kata lain, pencucian uang muncul akibat adanya perilaku korupsi. Sehingga pencucian uang merupakan salah satu bentuk tindakan korup anti kemanusiaan yang sangat merugikan rakyat dan negara.
Karena menarik dana ribuan triliun Rp dari para wajib pajak dan bea, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai adalah tempat yang sangat rawan penyelewengan, sehingga penerimaan negara akan berkurang. Mega skandal pajak di atas, yang diyakini merupakan satu dari sekian banyak kasus serupa, tentu saja siginifikan mempengaruhi capaian penerimaan negara dari pajak.
Jenis-jenis kejahatan pajak yang sering terjadi di Indonesia meliputi: Tidak melaporkan usaha untuk didaftarkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; Gagal menyerahkan dokumen seperti SPT atau dokumen resmi; Gagal membayar bagi pajak wajib; Informasi yang tidak lengkap, dipalsukan, atau tidak akurat yang diberikan kepada otoritas pajak; Menyalahgunakan atau pengguna tidak sah Pengusaha Kena Pajak; dan Gagal atau menolakan memenuhi kewajiban perpajakan.
Penyelewengan lain dapat berupa *kejahatan sarat moral hazard di sisi hulu* oleh oknum-oknum penguasa oligarkis. Oknum-oknum tersebut bekerja membuat kebijakan dan peraturan bermasalah, serta berbagai tindakan bernuansa moral hazard yang melibatkan wajib pajak dan oknum aparat pemerintah hingga ke level-level atas. Mereka bisa saja mengatur sehingga windfall profit tax dibuat rendah atau ditiadakan! Kebijakan pajak, pungutan, bea ekspor dan harga terkait sawit/CPO dibuat sedemikian rupa, sehingga pendapatan negara tidak optimal atau bahkan harga migor pun naik.
Salah satu contoh, naiknya harga batubara dunia membuat Pengusaha batubara Low Tuck Wong menjadi orang terkaya di Indonesia (30/12/2022). Sementara, penerimaan negara tidak terlalu signifikan naik. Jika kebijakan pajak dan royalti konstitusional dan objektif, maka negara dan rakyatlah yang harus mendapat manfaat terbesar, bukan pengusaha SDA!
Korupsi melalui kebijakan dan peraturan diyakini sangat besar. Hasilnya pun telah dan akan digunakan untuk memperkaya dan mempertahankan kekuasaan oligarki. Namun di sisi lain, dengan prilaku korup tersebut, tax ratio dan penerimaan pajak APBN menjadi minimalis.
Laporan Bank Pembangunan Asia (ADB, 2021) memuat informasi tentang banyaknya manipulasi dan penyelewengan pajak terutama perusahaan-perusahaan besar di Indonesai. Hal ini berakibat tax to GDP ratio (tax ratio) Indonesia menjadi yang paling rendah kedua di ASEAN (Indonesia kalah dari Timor Leste, hanya unggul atas Myanmar). Tax ratio Indonesia 2021 hanya 9,6%, sedang rata-rata ASEAN 15%. Tax ratio rata-rata negara maju OECD 33,5%. Indonesia merupakan negara ke 24 bertax ratio rendah di antara 28 negara di Asia-Pasifik yang tax ratio rata-ratanya 19,1%.
Rendahnya tax ratio dan prilaku moral hazard koruptif oknum-oknum penguasa-pengusaha di atas meyakinkan kita tentang massifnya korupsi pajak di Indonesia. Jika sikap Menko Mahfud dan Ketua PPATK Ivan Yustiavandana melunak, serta Menkeu Sri Mulyani seolah tak tersentuh dugaan pelanggaran hukum, maka tampaknya “mekanisme dan sistem oligarki” telah mulai bekerja. Dalam hal ini, situasi tampaknya telah dapat dikendalikan Presiden.
Kita faham bahwa dalam mega skandal korupsi pajak ini, di samping Sri Mulyani, pejabat yang paling menentukan namun sekaligus harus bertanggungjawab adalah pemimpin tertinggi. Dalam kasus Bank Century, Sri Mulyani dianggap salah satu yang harus bertanggungjawab. Namun Sri Mulyani konon membuat kebijakan karena perintah sang pemimpin.
Begitu pula dalan mega skandal pajak Rp 300 triliun, berbagai penetapan kebijakan dan peraturan terkait windfall profit tax minerba, CPO, dan SDA lain, serta kebijakan yang menguntungkan bisnis oligarki. Sri Mulyani dianggap di garis depan. Namun sang pemimpin yang diduga kuat berperan dan memberi perintah, tetap saja diduga sangat kuat terlibat, dan karenanya harus ikut bertanggungjawab!
Sebaliknya, jika bukan bagian dan dapat manfaat dari oligarki, sang pemimpin bisa pula membuktikan kredibilitas dan independensinya. Rakyat menunggu pembuktian: kapan Presiden Jokowi pecat dan dukung proses hukum terhadap Sri Mulyani?
Skandal pajak Rp 300 triliun dan berbagai kebijakan diduga sarat moral hazard sudah berjalan lama secara sistematis dan terstruktur. Karena itu penyelewengan ini harus ditindaklanjuti dengan proses investigasi dan penyelidikan oleh tim independen secara transparan. Seperti kasus Bank Century, DPR bisa membentuk pansus. KPK dan Kejaksaan Agung bersama PPATK harus terlibat aktif mengusut mega skandal korupsi ini. Sri Mulyani dan Jokowi harus bertanggungjawab. Rakyat pun harus segera bergerak demi tegaknya hukum dan diadilinya para koruptor !
Jakarta, 15 Maret 2023.