Oleh: Memet Hakim, Pengamat Sosial, Ketua Wanhat APIB
Bukan main, melanggar undang-undang untuk menjadi kaya dengan berbagai alasan, sepertinya sudah biasa, berbohong bahkan menipu juga sudah menjadi pakaian sehari-hari. Tuhan bukan lagi sesuatu yang ditakuti, yang penting bisa kaya. Benarlah kata HRS tokoh ulama yang tidak disukai rejim sekarang, karena sering mengingatkan kita semua betapa “krisis ahlak itu benar terjadi”, “krisis kebohongan itu benar terjadi”. Aparat tidak malu malu lagi untuk berbuat salah, berbuat yang memalukan, memang “krisis moral dan krisis etika” sedang melanda negara kita, terutama melanda para elite pimpinan nasional.
Lihatlah perilaku para anggota dan pimpinan DPR, MPR yang seharusnya menerima aspirasi rakyat, ini malah menyusahkan rakyat. Saat mau pileg mereka mengemis-ngemis suara rakyat, begitu jadi anggota legislatif mereka berbalik, setia pada partai dan pengusaha. Bagaimana para Menteri ? sama saja, lihatlah kebijakannya selalu untuk selalu tetap berkuasa, memasang Plt-plt yang justru tidak disukai rakyat, lihat ada Menteri-menteri yang cari simpati kemana-mana agar terpilih menjadi capres atau cawapres urusannya ditinggal seolah rakyat bisa dibodohi begitu saja. Sungguh ini sangat memalukan dan sekaligus memilukan.
Setidaknya ada 3 Undang-undang yang membatasi penyelenggra negara merangkap jabatan yakni UU no 19/2003 tentang BUMN, UU no 39/2008 tentang Kemeterian Negara dan UU no 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam ketiga UU tersebut “tersurat adanya larangan merangkap jabatan”, khususnya bagi Menteri dan pelaksana serta Direksi & Komisaris BUMN. Tersirat dalam ketiga UU diatas boleh merangkap jika untuk organisasi yang tidak dibiayai oleh pemerintah dan atau yang beresiko adanya benturan kepentingan. Misalnya menjadi Ketua panitia perayaan 17 Agustusan tentu tidak mengapa, menjadi Penasihat atau penanggung jawab seminar juga tentu tidak masalah
Tegasnya Menteri tidak boleh punya jabatan rangkap, Pelaksana Pelayanan Publik (bawahan Menteri) tidak boleh merangkap jabatan sebagai Direksi atau Komisaris di BUMN,BUMD dab BUMS. Direksi & Komisaris BUMN tidak boleh merangkap jabatan sebagai Direksi & Komisaris ditempat lainnya termasuk BUMS. Ini batasan di dalam undang-undang dan diyakini mereka tahu dan memahaminya, tetapi terus melanggarnya. Apakah atasan tidak tahu ? Rasanya tidak mungkinlah.
Yang terjadi saat ini banyak sekali pelanggaran atas UU diatas yang secara sengaja dilakukan oleh para penyelenggara negara. Kasus yang sedang hangat misalnya di Kementerian Keuangan tidak kurang dari 39 eselon 1 & 2 merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN (FITRA, 2023 vide Kumparan), dari total 95 jabatan rangkap di berbagai instansi. Menteri BUMN merangkap menjadi Ketua PSSI itupun melanggar UU diatas, apalagi LBP dengan sederet jabatan rangkapnya. Belum lagi ditingkat Provinsi dan Kabupaten, jumlahnya tidak terhitung. Pelanggaran ini merupakan pelanggaran serius, karena dilakukan oleh para penyelenggara negara. Presiden tentu harus bertanggung jawab penuh atas banyaknya pelanggaran ini. Akibatnya tentu membuka peluang untuk bertambah kaya dengan melanggar undang undang. Jika ada niat baik, momentum ini sangat baik untuk dijadikan perbaikan agar seluruh jabatan rangkap dicabut, lebih baik dicari person yang sesuai dan independen.
Bangsa Indonesia saat ini sudah ada dalam titik kritis sosial, tidak punya malu dan etika lagi, sehingga tuntutan mundur dari jabatan terhormatnya, dinilai merugikan secara ekonomis. Kehormatan atau martabat bukan pilihan lagi utama lagi, karena orang miskin dianggapnya tidak terhormat dan bermartabat. Bohong, menipu dianggap sebagai hal normal. Perilaku seperti inilah yang merusak bangsa Indonesia dari dalam. Namun demikian ternyata masih banyak orang yang ingin hidup terhormat dan bermartabat dari pada kaya tapi tidak terhormat, bahwa jabatan dan harta bukan segalanya.
Bandung, 14 Maret 2023