Jokowi dan Kebangkitan PKI

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

Rentetan prakondisi dugaan rekayasa rezim akan minta maaf dan pengampunan kepada PKI terlihat dan terlacak dengan jelas:

Pada tahun 2012 silam, Komnas HAM menyatakan adanya indikasi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kasus pelanggaran HAM yang ditemukan meliputi pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penghilangan paksa.

Menjelang peringatan ke 50 Gerakan 30 September September 2015. Muncul isu Presiden akan memaafkan dan atau minta maaf kepada PKI. Buru buru Menkopolhukam (saat itu) Luhut Binsar Panjaitan buru-buru menepis itu hoak.

Pemerintah memastikan tidak akan meminta maaf kepada keluarga yang terlibat Gerakan 30 September (G30SPKI), tetapi tetap akan mengusahakan ada rekonsiliasi.

Tercium diduga rekayasa rekonsilasi yang sudah berlangsung secara alami justru akan dirusak. Dengan “akan memberi maaf dan memberikan ganti rugi kepada korban G. 30 S PKI.

Saat Megawati menjabat sebagai Presiden RI, partainya PDI Perjuangan juga berupaya mencabut TAP MPRS No. XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme di Indonesia. Pada saat itu massa umat Islam bergerak melakukan aksi penolakan terhadap wacana tersebut, akhirnya dibatalkan.

Lahirlah Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sejak awal sudah bermasalah. Salah satu alasannya, karena tidak memasukkan ketentuan hukum yang langsung terkait dengan penyelamatan ideologi Pancasila.

Yaitu Ketetapan (TAP) MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang menyatakan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai terlarang, termasuk pelarangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan ideologi atau ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme.

Pada 3 Juni 2017, di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jokowi menganggap kebangkitan PKI sudah tidak ada. “Saya mau bicara mengenai masalah yang berkaitan dengan PKI karena sekarang ini masih banyak isu bahwa PKI bangkit, komunis bangkit,”, seraya bertanya mana, mana , mana ada PKI, tunjukkan kepada saya, kata Jokowi

Apa tidak memgetahui atau pura pura tidak tahu, “Fenomena kongres PKI : Kongres PKI ke VII di Blitar selatan 1967, Kongres ke VIII tahun 2000 di Sukabumi Selatan Jabar, Kongres ke IX 2005 di Cianjur Selatan Jabar. Kongres ke X, 2010 di Magelang Jawa Tengah dan Kongres ke XI di Banyumas Jawa Tengah 2015. Adalah bukti mereka tetap eksis.

Saat ini Presiden Jokowi telah melahirkan KEPPRES No. 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Pemerintah mengaku diri ini sebagai langkah terobosan pemerintah mempercepat pemenuhan hak-hak korban dengan penyelesaian non-yudisial . Mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban.

Puncaknya Presiden menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat pada sejumlah peristiwa yakni: Peristiwa 1965-1966, pada point pertama, di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu, 11 Januari 2023.

Pada kesempatan tersebut, Presiden juga menyampaikan rasa simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Untuk itu, pemerintah akan berupaya memulihkan hak para korban secara adil dan bijaksana.

Apapun alasannya Kepres no 17 tahun 2022 memuat misteri politik dan pintu masuk tersembunyi yang harus di waspadai sangat mungkin hanya dijadikan jalan pintas untuk seolah dianggap menuntaskan pelanggaran HAM berat bahkan ada agenda politik lain yang mendesak harus diambil, meminta maaf kepada korban G 30 S PKI, dengan segala resikonya.

Dugaan skenario yang akan dibuat adalah : PKI sebagai korban, negara harus memohon maaf kepada korban dan keluarga PKI. Korban atau keluarganya berhak dapat bermacam kompensasi (PKI akan direhabilitasi), dipulihkan nama baiknya, serta beri hak hidup untuk bangkit kembali.

Yang aneh kena apa agenda pelanggaran HAM berat kasus pembunuhan / tragedi KM 50 justru dianggap angin lalu. Justru akan menyelesaikan kasus kasus lainnya yang dibatasi waktunya minimal ahir Desember 2022 dan atau ada perpanjangan waktu satu tahun di tahun 2023 (menjelang ahir masa jabatannya). Tampak kerjanya sangat politis, ada apa ..?

Masyarakat saat ini tidak boleh menelan mentah-mentah apapun ucapan dan kebijakan Presiden yang sangat sering dalam hitungan hari sudah berubah dan membahayakan negara, karena dugaan kuat Presiden dalam kendali kekuatan lain yang sangat besar, sehingga ruang gerak PKI telah menemukan momentumnya

Masyarakat harus waspada tinggi menjaga agar tragedi dan ambisi neo-PKI itu berkuasa kembali, meski pun saat ini mereka secara “soft defacto” berkuasa..

Kalau asumsi atau kecurigaan masyarakat ini terjadi maka yang akan terjadi bukan menyelesaikan masalah justru akan timbul masalah yang lebih besar dan berbahaya. Dan dampak justru Presiden di ujung tanduk, bisa dimakzulkan dan terpental sebagai pihak yang harus diadili oleh pengadilan rakyat.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News