Center for Budget Analysis (CBA) akan melaporkan dugaan indikasi korupsi di Perseroan Terbatas Mass Rapid Transit Jakarta (PT MRT Jakarta) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dana Penyertaan Modal Daerah (PMD) yang didepositokan ke beberapa Bank.
Koordinator CBA, Jajang Nurjaman, mengatakan bahwa dana PMD tidak serta merta harus digunakan secara langsung serta dialihkan pada belanja operasional.
“Kita melihat ada siasat yang diduga diatur oleh aktor intelektual agar terhindar dari jeratan hukum dari jauh-jauh hari guna antisipasi jika terdapat permasalahan hukum yang akan datang. Sebab, dana PMD sebesar Rp11 triliun belum ditetapkan pada Perda sebagai modal disetor dan modal ditempatkan, selain itu terdapat dana senilai ratusan miliar belum diusulkan penggunaannya,” ujar Koordinator CBA, Jajang Nurjaman, Kamis (2/2) dikutip dari klikanggaran.
Dengan demikian, sambung Jajang, adanya dana yang tidak ditetapkan pada Perda (Peraturan Daerah) sehingga membuat dana tersebut tanpa dengan jelas payung hukum penggunaannya.
“Ini merupakan dalih awal agar dana tersebut bisa dikelola semaunya. Padahal, dana yang bersumber pada APBD dengan nilai di atas Rp50 miliar harus melibatkan DPRD untuk ditetapkan Perda sebagai dasar penggunannya, secara tak langsung dana tersebut digunakan secara glondongan tanpa paripurna,” beber Jajang.
Selain itu, kata Jajang, dugaan indikasi korupsi tersebut terlihat pada lima sertifikat deposito atas sisa dana penempatan PMD.
“Dana PMD ditempatkan pada rekening operasional bukan pada rekening khusus dana PMD, sehingga dana PMD senilai ratusan miliar itu bisa didepositokan ke beberapa bank tanpa tujuan yang jelas dan digunakan langsung untuk keperluan perusahaan,” ungkap Jajang.
Lanjutnya, ratusan miliar dana yang didepositokan juga harus ada pertanggungjawabannya, seperti suku bunga harus masuk kembali sebagai pendapatan perusahaan.
“Suku bunga dari keuntungan deposito harus menjadi pendapatan, jangan yang kembalinya hanya dana murni, bunga nya yang miliaran itu kemana?” ujarnya.
Oleh karena itu, Jajang menegaskan, akan segera melaporkan dugaan korupsi di tubuh PT MRT Jakarta ke Kejagung.
“Ini akan kita laporkan ke Kejagung, dan menyurati BPKP untuk segera melakukan audit investigatif. Penempatan dana PMD ke rekening operasional itu hanya dalih belaka, sebab secara kuantitas hanya tersisa Rp2,4 miliar, sedangkan ratusan miliarnya didepositokan tanpa diketahui siapa yang menilap keuntungnnya.”
“Saya meyakini Kejagung bisa bekerja secara profesional tanpa pandang bulu dan berkerja secara naluri memberantas korupsi sekalipun dalihnya dari pihak PT MRT Jakarta dengan tidak adanya aturan yang mengikat penggunaan dana PMD. Sebab sudah terkonfirmasi langsung dari pernyataan terhimpun Kepala Divisi Finance & Accounting PT MRT Jakarta bahwa pengusulan penggunaan dana PMD harus mendapatkan persetujuan dari Gubernur tanpa melalui BP BUMD, kan aneh,” pungkas Jajang.
Seperti diketahui, rincian penempatan PMD tersebut terbagi dalam enam rekening berbeda terdiri dari dua bank, yakni pada rekening operasional dengan nomor DKI 10808151581 senilai Rp2.463.070.080, rekening deposito nomor DKI 025040 senilai Rp98.998.143.599 besaran bunga 6,50% jangka waktu satu bulan TMT 28 September 2020, rekening deposito nomor DKI 012733 senilai Rp16.000.000.000 besaran bunga 7,75% jangka waktu 1 bulan TMT 13 Agustus 2019, rekening deposito nomor DKI 013701 senilai Rp150.000.000.000 besaran bunga 8% jangka waktu satu bulan TMT 25 Juni 2019, rekening deposito nomor DKI 013729 senilai Rp15.000.000.000 besaran bunga 8% jangka waktu satu bulan (ARO) TMT 10 Juli 2019, dan rekening deposit on call (DOC) nomor -122-02-0561047-3 Mandiri senilai Rp48.715.189.313 besaran bunga 2,40% jangk waktu 14 hari TMT 28 Juli 2021.
Menanggapi hal itu, Corporate Secretary Division Head PT MRT Jakarta (Perseroda), Ahmad Pratomo, menyarankan untuk mengkonfirmasi langsung ke pihak BPK.
“Itu memuat tanggapan atas data yang diamnil dari laporan BPK, sebaiknya dapat meminta tanggapan BPK saja sebagai pemeriksa agar intepretasi atas data dapat dijawab langsung oleh Pemeriksa. Data dapat diintepretasikan apa pun tergantung dari sudut pandang, kepentingan, peritimbangan, expertise dari pihak yang memberikan intepretasi. Namun agar valid, baiknya data diintepretasikan oleh sumber langsung penyaji data laporan itu, dalam hal ini BPK,” ujar A. Pratomo, Jumat (3/2).
Selain itu, dikatakannya bahwa orang/pihak manapun punya hak mengeluarkan pendapat mereka atas data yang dilihat.
“Ini hanya saran saya saja, karena data yang mereka pakai sebagai bahan rilis itu bersumber dari laporan BPK, sebaiknya divalidasi dengan mengutip tanggapan BPK selaku yang menerbitkan laporan tersebut,” pungkasnya.