JPU Gus Nur dan Bambang Tri Menampilkan Ahli Profesor Bodong?

Majelis Hakim PN. Surakarta Sidang Gus Nur dan Bambang Tri Mulyono/ BTM nampak tidak berlaku adil serta tidak punya nurani, sengaja menundukan diri daripada naluri subjektifitas Jpu./ Jaksa Penuntut Umum disepanjang pelaksanaan persidangan
Selasa, 21 Februari di persidangan Pengadilan Negeri Surakarta, Solo. Pengamat hukum yang juga salah seorang anggota tim advokasi Gus Nur/ GN.dan Bambang Tri Mulyono/ BTM bersama Eggi Sudjana, A. Khoizinuddin, Machmud dan Nael Tiano Marbun serta rekan – rekan advokat dari Kota Solo, sulit mengetuk pintu hati dari para hakim yang tidak berlaku objektif, selain tidak profesional dan tidak proporsional,  sehingga dalam pengambilan putusan kelak ” kemungkinan” majelis tidak akan dapat berlaku adil, walau pada praktiknya para saksi dari kedua ahli yang didatangkan dari pihak JPU. yakni asisten yang mengaku profesor menurut data dari salah seorang JPU. Dan begitu juga dari profile dirinya yang publis di Media On line sebagai Prof. Dr. Andika Dutha Bachari, S.Pd, M.Hum dari UPI/ Universitas Pendidikan Indonesia  ( http://sps.upi.edu/id/data-kepakaran-dosen-program-studi-linguistik-s2-dan-s3-sps-upi/
Bahwa pada persidangan, kemarin, Selasa 21 Februari 2023, gelar profesor dari Andika selain dibantah dan dinyatakan palsu dipersidangan oleh Prof. Dr. Drs. Aceng Ruhendi S, M.Hum. yang juga sama – sama dosen dari UPI. hanyalah sebagai asisten daripada dirinya ( Prof. Dr. Drs. Aceng RuhendiS., M.Hum.).
Prof. Dr. Drs. Aceng RuhendiS., M.Hum. selaku ahli yang didatangkan oleh tim advokasi hukum GN. Dan BTM pada persidangan kemarin, memberikan keterangan sebagai ahli bidang linguistik forensik,  menyatakan dihadapan persidangan, bahwa ; ” ijasah Jokowi mesti ditampilkan sebagai pembanding, jika tidak diperlihatkan, maka perkara dimaksud tidak layak untuk dijadikan sebagai bahan tuntutan perkara a quo in casu, yang kategorinya adalah delik aduan, sehingga sulit menentukan mana yang asli dan mana yang palsu “.
Keterangan ketidak patutannya perkara ini untuk disidangkan adalah bertambah kuat dari keterangan Dr. M. Taufik, Dosen Universitas Islam Sultan Agung/ UNISSULA ahli hukum yang dihadirkan oleh Kuasa Hukum Para Tdw.
M. Taufik bahkan dengan tegas menyatakan dihadapan majelis hakim persidangan case a quo bahwa perkara a quo in casu adalah semestinya diputus oleh hakim dengan vonis ontslag atau bebas demi hukum, karena bukan sebuah peristiwa pidana, oleh sebab hukum objek perkara in casu yakni ijasah korban ( Presiden Jkw ) yang dikatakan palsu, oleh Tdw. BTM berdasarkan data yang dimilikinya, melalui sumpah Mubahalah pada acara podcast yang disiarkan melalui youtube GN. Ternyata sampai dengan saat pemeriksaan keterangan Para saksi dan ahli dari JPU. Dan maupun dari para saksi dari Para Tdw. Nyata dan fakta bahwa ijasah asli Jkw dari SD., SMP dan SLTA. Dalam persidangan tidak dapat diperlihatkan atau ditampilkan sebagai  barang bukti atau bagian yang menjadikan sebagai sebuah dari beberapa bukti – bukti fakta hukum milik JPU. untuk dijadikan sebagai alat bukti JPU. sebagai bahan pembanding yang dapat membuktikan bahwa BTM. Telah melakukan kebohongan serta ujar kebencian sesuai  tuduhan, dengan cara menggunakan barang bukti palsu yang dimiliki oleh Tdw.  BTM sesuai  tuduhan oleh JPU. Dalam dakwaannya, sebagai bahan tuntutannya.
Apakah JPU. Akan berlaku subjektif, sehingga akan mirip orang yang kesambet setan yang penuh ” nafsu menghukum ” para terdakwa, dengan pola mengenyampingkan atau melupakan, semua keterangan ahli yang memang ditemukan dihadapan hakim, sebagian diantaranya melupakan pernyataan dari para saksi yang dimajukan oleh JPU. Diantaranya, saksi pelapor Martharini Chritianingsih, yang mengaku beragama kristen dengan bersumpah/ berjanji palsu dihadapan para hakim majelis, namun mengaku beragama Islam didalam BAP dihadapan penyidik kepolisian dan Dr. Trubus Rahardiansyah ahli dari JPU. yang membenarkan atau mewajibkan atau keharusan hukum adanya ijasah asli Jkw. Sebagai alat bukti JPU.
Kebetulan ahli JPU. Dr. Trubus pengamat kenal, karena dirinya adalah seorang rekan sesama advokat dan sesama pengurus di DPP. Kongres Advokat Indonesia KAI
Lalu, majelis hakim bergeming ( diam ) tanpa komentar atau tidak merasa ketersinggungan dengan pernyataan dari kami melalui Pengamat Hukum yang juga selaku anggota tim advokasi Para Tdw. ( GN. dan BTM ) Damai Hari Lubis, pada sidang kemarin, Selasa, 21 Februari 2023, menyampaikan kalimat adagium terkenal dikalangan hukum ; ” bahwa untuk mendapatkan keadilan ( gerechtigheit ) yang berdasarkan materiele waarheid atau kebenaran yang sebenar- benarnya kebenaran sesuai cita – cita seluruh manusia atau masyarakat pada bangsa – bangsa  umumnya, maka semua para panegak hukum, mulai dari Penyidik Polri,  JPU. dan Para Kuasa Hukum Tdw. dan termasuk para pengunjung sidang, untuk dapat menemukan serta mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya atau materiele waarheid, semua pihak terutama hakim mesti mengedepankan objektifitas.
Dan khususnya bagi para hakim yang menentukan putusan hukuman, harus memiliki jatidiri sebagai Judex herbere debet duos sales ” yang kelengkapan kalimatnya ; ”  salem sapientiae, ne sit insipidus, et salem conscientiae, ne sit diabolus, ” yang punya makna ilmiah hukum ;
” seorang hakim harus mempunyai dua hal ; yakni kebijakan, kecuali dia bodoh; dan hati nurani, kecuali dia mempunyai sifat yang kejam.
Apakah hakim mengerti kalimat adagium hukum beenahasa latin ini ? tidak jelas, mereka hakim kemarin hanya terdiam, nyatanya, hakim tetap kekeh, Majelis enggan sekedar menangguhkan penahanan terhadap para terdakwa. *Faktanya Hakim Majelis malah memperpanjang masa penahanan, mungkin kadung ” sengaja meng-intervensikan ” diri mengikuti arah atau alur JPU. Dan Penyidik sebelumnya, yang nyata sudah memenjarakan para Terdakwa Gus Nur dan Bambang Tri Mulyono, atau Hakim merasa tanggung melanggar presumption of innocent/ pradga tak bersalah yang diatur oleh KUHAP/ serta melanggar asas constante justitie ( Kontan atau cepat, sederhana dan biaya murah ) yang diatur oleh UU. RI. Nomor 48 Tahun 2009. Tentang Kekuasaan kehakiman, hingga terlanjur menyiksa orang yang belum tentu bersalah ?*
Wallahu’alam

Simak berita dan artikel lainnya di Google News