Bakal calon presiden (Bacaleg) Anies Baswedan bukan pribumi melainkan warga asing pendatang dari Arab. Hal ini berdasarkan dalam sidang BPUPKI di mana kakekanya Anies Baswedan, AR Baswedan hanya memperjuangkan warga arab untuk menjadi warga negara Indonesia.
Demikian dikatakan politikus Gerindra Ferdinand Hutahaean dalam video yang beredar luas di media sosial. “Indonesia merdeka karena leluhur bangsa suku asli penghuni Nusantara. Banggakan para leluhur, orang-orang pribumi,” tegas Ferdinand.
Ia juga heran, warga keturunan Arab dianggap mempunyai jasa dalam memperjuangkan bangsa dan negara.
Ia mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk menghargai suku asli penghuni nusantara yang berjuang dalam kemerdekaan bangsa Indonesia.
Siapa sosok Abdurrahman Baswedan atau populer dengan nama A R Baswedan yang diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo ini?
Dari artikel yang dikutip dari Wikipedia, Abdurrahman Baswedan lahir pada 9 September 1908 dan meninggal dunia pada 16 Maret 1986.
Semasa hidupnya, dia dikenal sebagai seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, muballigh, dan juga sastrawan Indonesia.
A R Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante.
A.R. Baswedan adalah salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia dari Mesir.
Selain berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia, A.R. Baswedan juga menguasai bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Belanda dengan fasih.
A R Baswedan adalah seorang pemberontak pada zamannya. Harian Matahari Semarang memuat tulisan Baswedan tentang orang-orang Arab, 1 Agustus 1934. A R Baswedan memang peranakan Arab, walau lidahnya pekat bahasa Jawa Surabaya, bila berbicara.
Ia menyerukan kepada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku.
Pada titik inilah dia menjalani perubahan haluan yang sangat besar bagi pribadi, dan pada akhirnya menggerakkan perjalanan Indonesia.
Pada masa-masa revolusi, A R Baswedan berperan penting menyiapkan gerakan pemuda peranakan Arab untuk berperang melawan Belanda. Mereka yang terpilih akan dilatih dengan semi militer di barak-barak. Mereka dipersiapkan secara fisik untuk bertempur.
A R Baswedan sendiri pernah ditahan pada masa pendudukan Jepang (1942). Saat Indonesia merdeka, ia mengorbankan keselamatan dirinya saat membawa dokumen pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Mesir pada 1948.
Dia mendapatkan gangguan dan hambatan tak sedikit dalam menjaga dokumen ini. Padahal, semua bandara di kota-kota besar, termasuk Jakarta, sudah dikuasai tentara Belanda dan Sekutu dan tidak ada yang bisa lewat dari penjagaan mereka. Tapi, berkat kelihaian dan kenekatannya, dengan menaruhnya di kaos kaki, dokumen penting dari Mesir itu bisa selamat dan Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka secara penuh, secara de jure dan de facto.
Jurnalis
A R Baswedan adalah seorang otodidak. Dia mempelajari banyak hal secara mandiri, terutama kemampuan menulisnya. Tapi, dia mendapatkan dunia jurnalisme terbuka lebar setelah bertemu wartawan pertama dari keturunan Arab di Hindia Belanda, Salim Maskati, yang di kemudian hari membantu A R Baswedan dengan menjadi Sekretaris Jenderal PAI. Oleh karena itu, profesi utama dan pertama A.R. Baswedan adalah jurnalis.
Dia memang sempat menjalani kegiatan perniagaan dengan meneruskan usaha toko orang tuanya di Surabaya. Tapi, dia tak kerasan.
Dia tertarik pada dunia jurnalisme. Soebagio I.N., dalam buku Jagat Wartawan memilih A.R. Baswedan sebagai salah seorang dari 111 perintis pers nasional yang tangguh dan berdedikasi.
Saat bekerja di Sin Tit Po, ia mendapat 75 gulden—waktu itu beras sekuintal hanya 5 gulden. Ia kemudian keluar dan memilih bergabung dengan Soeara Oemoem, milik dr. Soetomo dengan gaji 10-15 gulden sebulan. Setelah itu dia bekerja di Matahari. Tapi, setelah mendapatkan amanah untuk menjalankan roda organisasi Persatuan Arab Indonesia (PAI), ia meninggalkan Matahari, padahal ia mendapat gaji 120 gulden di sana, setara dengan 24 kuintal beras waktu itu.
“Demi perjuangan,” katanya.
Sebagai wartawan pejuang, A R Baswedan produktif menulis. Saat era revolusi, tulisan-tulisan A.R. kerap tampil di media-media propaganda kebangsaan Indonesia dengan nada positif dan optimis, sebagaimana terekam dalam buku The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1945 karya Harry J Benda.
Suratmin dan Didi Kwartanada merangkum perjalanan AR dalam dunia jurnalistik sebagai berikut.
Redaktur Harian Sin Tit Po di Surabaya (1932).
Redaktur Harian Soeara Oemoem di Surabaya yang dipimpin dr. Soetomo (1933).
Redaktur Harian Matahari, Semarang (1934).
Penerbit dan Pemimpin Majalah Sadar.
Pemimpin Redaksi Majalah internal PAI, Aliran Baroe (1935-1939).
Penerbit dan Pemimpin Majalah Nusaputra di Yogyakarta (1950-an).
Pemimpin Redaksi Majalah Hikmah.
Pembantu Harian Mercusuar, Yogyakarta (1973).
Penasihat Redaksi Harian Masa Kini, Yogyakarta (70-an).
Karier politik
Jalan politik A R Baswedan dimulai saat menjadi ketua PAI. PAI memperjuangkan penyatuan penuh keturunan Arab dengan masyarakat Indonesia dan terlibat aktif dalam perjuangan bangsa. PAI mendapatkan banyak kritikan dan cercaan dari sana-sini atas cita-citanya.
A R Baswedan mengonsolidasikan kekuatan internal sekaligus membangun komunikasi dengan pihak luar, yaitu gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia lainnya, seperti Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, dan Moehammad Husni Thamrin.
Pada 21 Mei 1939, PAI turut bergabung dalam Gerakan Politik Indonesia (GAPI) yang dipimpin Moehammad Husni Thamrin. Dalam GAPI ini partai-partai politik bersepakat untuk menyatukan diri dalam wadah negara kelak bernama Indonesia.
Berkat masuk dalam GAPI ini, posisi PAI sebagai gerakan politik dan kebangsaan semakin kuat. Selain masuk dalam GAPI, A.R. Baswedan juga membawa PAI ke dalam lingkaran gerakan politik kebangsaan yang lebih luas dengan masuk ke dalam Majelis Islam ala Indonesia (MIAI) pada 1937.
Pada masa pendudukan Jepang, A.R. Baswedan diangkat sebagai anggota Chuo Sangi In, semacam Dewan Penasihat Pusat yang dibentuk Penguasa Jepang. Organisasi ini diketuai langsung oleh Ir. Soekarno.
Menjelang Indonesia merdeka, A.R. Baswedan ikut menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di sinilah A.R. bersama para pendiri bangsa lainnya terlibat aktif menyusun UUD 1945. Setelah Indonesia merdeka, A R Baswedan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Perjuangan A R Baswedan berlanjut di republik baru. Bersama dengan Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), Rasyidi (Sekjen Kementrian Agama), Muhammad Natsir dan St.
Pamuncak, A R Baswedan Baswedan (Menteri Muda Penerangan) menjadi delegasi diplomatik pertama yang dibentuk oleh negara baru merdeka ini.
Mereka melobi para pemimpin negara-negara Arab. Perjuangan ini berhasil meraih pengakuan pertama atas eksistensi Republik Indonesia secara de facto dan de jure oleh Mesir.
Lobi panjang melalui Liga Arab dan di Mesir itu menjadi tonggak pertama keberhasilan diplomasi yang diikuti oleh pengakuan negara-negara lain terhadap Indonesia, sebuah republik baru di Asia Tenggara.
Pada 1950-an, A R Baswedan bergabung dalam Partai Masyumi. A.R. Baswedan menjadi pejabat teras partai Islam terbesar dalam sejarah Indonesia itu.
Deliar Noer menyimpulkan bahwa A R Baswedan termasuk dalam kelompok pendukung Moh. Natsir dalam Masyumi.