Jokowi sedang Galau

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

“Saya sudah lelah dan capek”. Tidak diketahui dengan pasti maknanya lelah fisik atau lelah pikiran, “saya ingin segera mundur untuk bebas dari beban yang sangat berat” . “Sebagai manusia biasa keluh kesah bersama keluarga hal yang wajar, dan itu bukan hoak .. memang terjadi”.

Hanya berbeda suasana ketika itu diketahui LBP, di maknai ini sangat berbahaya dan harus dicegah. Sedangkan kekuasaan harus diperpanjang. Berahir hanya dua periode saja sangat riskan dan resiko politiknya sangat besar.

Kena apa harus Jokowi yang di korbankan, sekalipun beda makna dikorbankan dengan nekad mengorbankan diri. Mengorbankan diri karena tidak tahu diri ketika kapasitas, kapabilitas dan integritas tidak memadai memaksakan diri.

“Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu, ” kata Franklin D. Roosevelt.”.

Ini artinya sejak awal ada skenario untuk mengacaukan negara atau ada hegemoni yang ingin menguasai negara ini dan sistem mobokrasi harus diciptakan, pemerintahan yang dipegang dan dipimpin oleh rakyat jelata yang tidak tahu seluk-beluk pemerintahan.

Lahirlah pemimpin, unconstitutional and plain stupid (inkonstitusional dan bodoh).

Terjadilah peristiwa negara di pimpin oleh Pemimpin Boneka . Dari sinilah awal petaka terjadi seorang pemimpin yang ucapan, peran, dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara.

Jokowi sangat mungkin ingin jujur tetapi keadaan tidak memungkinkan terpaksa harus berperan antagonis. Lahirlah gaya kepemimpinan yang mencela mencle serta peran kepemimpinannya yang hanya sebagai pemimpin boneka.. sangat mudah di lihat pada panggung depan (front stage), dan panggung belakang (back stage), berbeda 180 derajat .

Dalam waktu yang panjang akan menekan nurani dan bathinnya terus terguncang dan hidup dalam ketidak pastian , hilang stabilitas diri larut dalam skenario pemaksaan sebagai boneka.

Kekejaman sang sutradara adalah The wrong man in the wrong place with the wrong idea and idealism (Orang yang salah di tempat yang salah dengan ide dan cita-cita yang salah)

Dampaknya bagi JW adalah kegalauan, semua sudah terlambat karena negara dari semua parameter Ipoleksosbud hankam sudah carut marut. Sangat panjang kalau diurai satu-persatu.

Jokowi sudah tidak ada lagi tempat bersembunyi semua sudah berada dialam terbuka jejak digital tidak bisa ditipu. Dan Fabel Aesop mengatakan : “mempersiapkan diri setelah bahaya datang adalah sia-sia”.

Fenomena kebohongan dan ketidak jujuran sudah merambah kemana mana. “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki!!”.

Apabila rakyat tak berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan apabila omongan penguasa tidak boleh dibantah dengan kebenaran itu artinya pasti terancam.

Semua terperangkap dengan skenario Oligargi. Jokowi terus dihadapkan pada sebuah rekayasa politik Oligarki yang ugal ugalan. Negara bukan hanya menjauh dari cita cita dan tujuan negara tetapi sudah mengarah kearah kehancurannya.

Kecerdasan Oligarki menyatukan bersatunya Bandit – Bandar dan Badut Politik organik dengan Bandit, Bandar dan Badut politik non-organik, adalah gambaran peta perselingkuhan dan pelacuran politik yang melibat semua jejaring kekuasaan masuk dalam kolam yang sama.

Mampu meluluh lantakan peran dan fungsi hampir di semua institusi dan lembaga negara dalam satu kekuasaan dan genggaman Oligarki.

Kuasa dan kekuasaan mereka sangat besar dan dalam menentukan kebijakan negara muncul stigma rakyat istilah SSK ( Suka Suka Kita )

JW harus berhadapan dengan kenyataan ancaman rakyat menggugat menuntut negara kembalikan pada kondisi normal harus lepas dari genggaman Oligargi.

Bisa terjadi kudeta ditengah jalan kekuasaan Jokowi. Setiap kudeta bisa bermakna ilegal, hanya satu kudeta yang legal. Yaitu kudeta dalam rangka menegakkan kedaulatan rakyat. Dalam rangka menggulingkan tirani.

Adalah hak rakyat untuk mengubah atau menghentikan pemerintahan tirani, dan mengganti dengan pemerintahan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. Karena, karakter pemimpin tirani tidak bisa diterima untuk memimpin bangsa yang merdeka.

Semua terpulang pada Jokowi kalau hanya menyesali atau galau sudah tidak ada gunanya. Mengendalikan negara pada kondisi normal sesuai rambu rambu UUD 45 dan Pancasila justru pondasi tersebut telah rusak dan dirusak.

Prof. Anthony Budiawan mengatakan ciri orang galau, ketakutan, tidak tenang, berbuat apa saja tapi blunder.

Mundur kena maju kena itulah takdirnya, resiko hukum paska lengser dari kekuasaan sangat besar dan berat. Rekayasa perpanjangan jabatan hanya akan menambah resiko politik makin membesar.

Kembali berembuglah dengan keluarga dengan jujur dan ikutilah nurani dengan jujur, taubatlah dan mintalah petunjuk dengan sang pencipta manusia, siapa tahu masih ada petunjuk dari Tuhan YME, jalan untuk kebaikan hidupnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News