Oleh Asyari Usman
Setelah mencoreng nama baik Anies Baswedan perihal utang pilkada 2017, Sandiaga Uno seharusnya meminta maaf. Tidak cukup hanya mengatakan bahwa setelah sholat istikharah dan konsultasi keluarga, dia dengan entengnya mengatakan tidak mau lagi melanjutkan masalah itu.
Sandiaga jelas telah mencemarkan nama baik Anies. Dia sendiri yang membeberkan utang Anies Rp50 miliar terkiat pembiayaan pilkada DKI 2017.
Setelah diungkap isi perjanjian yang sebenarnya tentang uang yang dipinjam Anies itu, barulah Sandiaga sekarang menyatakan “case closed” alias masalah itu diakhiri. Isi perjanjian yang sebenarnya adalah: kalau menang pilkada 2017 itu, utang dianggap lunas. Tapi kalau kalah, Anies akan mengembalikannya.
Klausul ini memang lain dari biasanya. Normalnya, kalau menang dikembalikan; kalau kalah dianggap lunas.
Sandiaga mengatakan dia mengikhlaskan utang Anies itu setelah menerima masukan dari keluarga. Pernyataan ini sangat menyakitkan Anies, pasti. Sebab, setelah kemenangan pilkada 2017 itu otomatis utang Anies tidak ada lagi.
Tidak mau melanjutkan soal utang itu, cukup bagus. Tapi, Sandiaga Uno telah menggoreskan persepsi di kalangan publik bahwa Anies berutang. Pernyataan Sandi –begitu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) itu akrab disapa— yang mengikhlaskan utang tersebut bukannya mengakhiri anggapan jelek orang terhadap Anies. Sebaliknya meyakinkan publik bahwa Anies masih berutang.
Mengikhlaskan itu seolah utang itu ada dan belum dibayar. Padahal, sesuai perjanjian, kalau menang pilkada tidak lagi dihutung sebagai utang.
Sekali lagi, Sandiaga harus meminta maaf dan menjelaskan isi perjanjian asli. Kalau tidak, Sandiaga bisa disebut memfitnah Anies.
Agak mengherankan mengapa Sandi menhgungkit masalah pembiayaan pilkada DKI itu. Di tengah hiruk-pikuk upaya penjegalan Anies secara masif karena berpeluang besar menjadi presiden, maka pernyataan Sandi tentang utang Anies terkait utang pilkada itu sangat wajar disebut sebagai bagian dari upaya itu.
Semua orang pantas menganggap Sandi masuk di barisan penjegalan. Tidak ada konteks lain yang cocok dengan isu utang pilkada itu kecuali upaya menjelekkan Anies supaya dia terjegal maju di pilpres 2024.
Apalagi kalau dilihat gambar besar peta pilpres 2024. Semakin jelas bahwa Sandi mengungkit utang Anies, yang sebenarnya tidak ada itu, karena dia berada di posisi yang berseberangan dengan Anies. Artinya, Sandi adalah salah seorang figur yang ikut atau diikutkan dalam kelompok yang tidak ingin Anies menjadi presiden. Dalam kalimat lain, Sandi serombongan dengan orang-orang yang tidak ingin kezaliman dilenyapkan dan keadilan ditegakkan.
Anggapan ini sangat masuk akal. Sandi ikut bersama Prabowo Subianto memperkuat kezaliman dan kewenangan rezim.
Belakangan ini, orang-orang Prabowo mengutak-atik komitmen Anies untuk tidak maju di pilpes kalau Prabowo maju. Komitmen ini tentulah tidak berlaku seumur hidup Prabowo sehingga Anies tidak boleh ikut pilpres setiap kali menteri pertahanan pengagum berat Jokowi itu ingin maju pilpres.
Sekarang ini, Prabowo sangat berambisi ikut pilpres 2024. Barangkali saja beliau melihat bahwa jalannya menuju Istana akan lebih mulus kalau Anies tidak ikut.
Tetapi, siapa saja boleh ikut pilpres. Apalagi Pak Prabowo. Sangat dianjurkan ikut. Beliau punya kendaraan politik sendiri dan bisa membangun koalisi dengan kekuatan politik lain. Gerindra sudah mengikat persekutuan dengan PKB. Bagus-bagus saja. Pilpres 2024 akan semakin menghibur rakyat.
Begitu juga Anies. Dia juga boleh ikut. Anies tidak akan melihat Prabowo sebagai ancaman di pilpres 2024. Anies akan melihat Prabowo sebagai kompetitor di dalam proses demokrasi yang bertujuan untuk memperbaiki Indonesia.[]
8 Februari 2023
(Penulis: Jurnalis Senior Freedom News)