Komite Wilayah (KW) – Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) Sulawesi Selatan, Menilai isu perpajangan masa jabatan kepala desa 9 tahun adalah satu bentuk gerakan demokrasi yang mundur dan akan menghilangkan prinsip demokrasi seperti musyawarah mufakat yang selama ini menjadi nilai bagi masyarakat desa
Sejak isu persoalan perpanjangan masa jabatan kepala desa bergulir, tentang wacana adanya merevisi UU No 6 Tahun 2014 tentang desa, perihal Tentang usulan memperpanjangan masa jabatan kepala desa yang semula 6 tahun menjadi 9 tahun dalam satu priode berkuasa, hal ini juga sejalan dengan tuntutan kepala desa se-Indonesia dalam aksi di depan Gedung DPR RI Senayan Jakarta Pusat, Senin (16/01).
Merespon Hal itu, Risal Selaku Karateker KW-LMND Sulsel menganggap perpanjangan masa jabatan kepala desa sangat bertentangan dengan spirit demokrasi bangsa Indonesia. Ia menganggap desa adalah miniatur dari modernitas yang akan menjadi kota sehingga perlu demokrasi itu di letakkan sebagai pondasi dalam berkembangnya desa yang maju dan mandiri.
Apalagi kepala desa adalah jabatan publik yang sangat bersentuhan langsung dengan nilai-nilai demokrasi, maka dari itu sangatlah penting adanya pembatasan kekuasan sehingga ada evaluasi dari masyarakat terhadap kinerja kepala desa dalam kegiatan membangun desa.
Tak hanya itu, Risal juga menerangkan problem di desa tidak bisa dilihat dalam satu konteks tertentu. misalnya, adanya penyalahgunaan dana desa, pemecahan sosial akibat politik transaksional (money politics) adalah hal yang juga tidak bisa disimplifikasi eksistensinya, sehingga interupsi perpanjangan masa jabatan kepala desa jangan dijadikan alasan dalam merevisi UU tentang desa.
Sejak adanya anggaran dana desa yang digelontarkan oleh negara lewat APBN yang begitu besar, tidak adalagi alasan bagi kepala desa terkait waktu singkat dalam mengkonslolidasikan pembangunan desa, sehingga menurut kami 6 tahun masa jabatan kepala desa sangatlah cukup untuk menopang dan mengkonsolidasikan pembangunan desa yang dapat menciptakan iklim konsesus bagi warga desa.
Di sisi lain besarnya anggaran desa juga mendorong massifnya praktek korupsi di tingkat desa, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada 686 kepala desa yang terjerat kasus korupsi dana desa yang mengakibatkan mandegnya pembangunan desa, maka dari itu perlulah ada pembatasan masa jabatan kekuasaan yang ideal.
“Kita melihat point ini lebih ke arah politis sebab perpanjangan masa jabatan kepala desa sejalan apa yang bergeming di publik terkait isu perpanjangan masa periode presiden, sebab rasionalisasinya justru cacat secara teori dan yuridis, sehingga kami berspekulasi bahwa pointnya adalah politik yang justru melanggengkan kepentingan kekuasaan tertentu lewat instrument desa. Apalagi Kita indonesia punya secara kelam tentang lahirnya demokrasi langsung yang seahrusnya sudah memantaskan kita mencitkan demokrasi yang berkualitas dan modern,” ujarnya.
Lebih dari itu Risal mendorong kerja sistem demokrasi desa, partisipasi warga dan fungsi pendampingan, pengefektifan pengelolaan anggaran desa yang lebih objektif serta mendorong pemberdayaan masyarakat adalah hal yang sangat fundamental.
“Kami menganggap perpanjangan masa jabatan bukanlah jawaban yang solutif jutsru kami melihat dengan adanya syarat kepentingan tertentu,” pungkas Risal.